Kamis, 17 Juni 2021

Pada Dunia yang Hanya Terlukis Satu Warna

 Buruknya semua ini adalah kau sama sekali tidak memiliki gambaran tentang hubungan yang sehat itu seperti apa. Dalam benakmu hanya berisi kekerasan, lagu frustasi, dan tragedi karena begitulah sejak mula dunia digambarkan kepadamu oleh mereka. 

Dan cinta membuatmu bertanya-tanya seperti apa warnanya? Antara mereka yang mencintaimu dengan tulus tanpa mengharapkan apapun atau mereka yang "mencintaimu" dengan membuatmu memanggul segunung ekspektasinya di punggungmu. Lalu jika yang terjadi padamu adalah yang kedua, kau hanya akan menyadari bahwa hidup di dunia ini benar-benar menyakitkan. Untuk bisa membuatmu "diterima" kau menggadaikan dirimu untuk mendapat cinta mereka. Kau percaya bahwa cinta adalah seberapa keras kau rela berkorban untuk dicintai dan diakui. Dunia ini dan cinta tak lebih seperti hitam atau putih, meskipun dalam ceritaku yang lain aku akan secara romantik mengatakan bahwa ada ribuan warna dalam satu cinta. Kuharap aku segera menyadari dan merasakan ribuan warna cinta itu. Namun jujur, di dalam benakku yang terdalam sampai saat ini mereka hanya ada dua warna dan itu membuatku sering buntu mengartikan yang lainnya.

Kau tak akan pernah tahu keadaan dunia yang sebenarnya sampai kau pernah merasakan yang terburuk atau paling tidak terburuk menurut versimu karena kondisi buruk sangat relatif bagi setiap orang.

Ada golongan orang yang akan menilai orang lain dari "harga" nya. Betapa diskriminasi itu bisa bermacam macam wujudnya. Jika saat ini kita menggembar gemborkan diskriminasi bentuk tubuh, maka pelaku diskriminasi itu jangan dikira hanya berasal dari orang lain. Bahkan orang terdekat kitalah yang sering menggoreskan pandangan bahwa kita tak lebih baik dari orang lain dalam segi apapun. 

Rasanya sangat menyakitkan saat kita dijadikan pusat perhatian dengan mengatakan bahwa orang tua kita lebih bangga dan memilih saudara kita yang lain hanya karena lebih cantik dan lebih pintar. Budaya patriarki yang digambarkan dalam banyak novel klasik itu benar adanya dan aku sendiri melihat tepat di depan mataku bagaimana laki-laki merasa berkuasa dan perempuan tak ubahnya budak. Percayalah diskriminasi itu tetap ada sekeras apapun aktivis itu memperjuangkan kesetaraan.

Kecuali kedua belah pihak sudah sama-sama sepakat dengan keyakinan yang sama seperti yang diyakini segolongan orang dengan dalih bahwa pernikahan adalah memperbanyak keturunan sebanyak mungkin. Itu sudah jelas perempuan bersedia menjadi "mesin penghasil anak." Bukannya aku skeptis dengan pilihan hidup mereka. Aku justru menghargai keyakinan mereka, namun alangkah lebih baik jika ibunya itu punya basic pengetahuan yang baik. Tidak hanya sekedar basic ilmu agama yang menganjurkan segera menikah dan semacamnya. Dunia ini luas, ada banyak hal yang belum dijelajahi. Sayang sekali jika setiap perempuan yang keluar dari pondok itu seakan-akan telah di cuci otaknya untuk segera menikah dan menghasilkan keturunan sebanyak-banyaknya. 

Ada semacam harga untuk setiap individu. Aku tak tahu dengan jelas apa satuan untuk setiap harga itu. Jika kemarin ada orang korea yang menganggap orang indonesia menjijikkan, ya memang itu yang mereka lihat dari Indonesia. Anda bisa marah tapi marahmu itu hendaknya dijadikan semangat untuk meningkatkan hargamu di mata orang lain. Karena aku pun mengalami perasaan direndahkan dalam artian aku merasa kapasitasku sangat rendah, bahasa inggris sangat dasar, juga pengetahuan lain sangat minim, aku dianggap tidak layak untuk mengajar adikku sendiri matematika. Kau akan dinilai tidak layak jika terus seperti itu dan itu yang membuat hubunganku dengan ayahku sangat dingin. Aku menjaga jarak dan melindungi diri sebaik mungkin. Hingga suatu ketika beliau dipanggil dan aku hanya merasa harus menangis bukan karena kehilangan. 

Ibuku juga merasa telah kebas mentalnya sejak pernikahan itu. Bahkan tak bisa lagi menangis. Kau boleh menikah saat kau sudah menemukan identitasmu. Jika belum kau hanya akan dikendalikan oleh orang lain dan itu yang membuatmu tampak menyedihkan. Aku hanya kasihan pada anak-anaknya, yang seharusnya mendapat tempat hangat namun tidak bisa menemukan tempat semacam itu di rumah. Mereka masih satu rumah namun punya pertarungan masing-masing di kepalanya. Hanya butuh sedikit pemicu untuk membuat suasana tegang pecah jadi air mata yg seharusnya air mata itu tak perlu ditumpahkan jika masing-masing sudah paham konsekuensi sebuah pernikahan. Dulu aku merasa rumahku lah yang paling sempurna, namun nyatanya rumahku penuh dengan tangis bisu ibukku yang baru kuketahui akhir-akhir ini. 

Jangan membuat tindakan ceroboh dengan menceburkan diri dalam pernikahan hanya untuk menghindari masalahmu. Pernikahan bukan permainan, ada hirarki yang sewaktu-waktu bisa membuatmu sangat ingin kembali seorang diri. Pikirkan baik-baik sebelum melangkah. 

Juga pertanyaan apakah kau layak dicintai? Apa kau cukup layak untuk hidup di dunia? 

Akan kutunjukkan jalan untuk membuatmu perlahan menyadari betapa berharganya dirimu. Terlepas dari masa lalu yang hanya memberikanmu satu pilihan atau kenangan yang ingin kau harap tak pernah ada, aku menerimamu apa adanya.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda