Acceptance for everything
Pernah suatu ketika ketika matahari terasa sangat menyayat hati. Ketika bangun tidur tak lebih dari sebuah upaya untuk membunuh hari demi hari. Seperti makhluk yang hanya ingin terus melarikan diri dari kekangan, aku terus mencari alasan untuk bertahan pada hal-hal yang sepertinya bukanlah sesuatu yang benar-benar Aku inginkan.
Kau seperti membaca sebuah buku karya sastra klasik yang menguras banyak emosi. Namun disini emosi itu adalah gejolak diriku sendiri bukan karangan sastrawan ataupun imajinasimu sendiri. Aku membolak balik halaman hanya untuk mencari dimana letak kesalahan alur cerita ini. Sumber segala masalah yang menjadi titik awal konflik batin yang tak lekang oleh waktu.
Aku memutuskan untuk mengawasi cerita ini. Memantau setiap gerak gerik pikiran yang mungkin mengacaukan keseluruhan cerita. Karena aku percaya cerita yang baik adalah cerita yang tidak berprasangka. Terlebih lagi jika prasangka itu ternyata adalah ilusimu sendiri maka sekali lagi kukatakan padamu, kawan, cerita ini harus terus diawasi agar tidak memberontak dan melukai penulisnya sendiri.
Aku menerima setiap kegaduhan ini, kakacauan ini sebagai bagian dari diriku yang tidak pernah tuntas memahami perasaanku sendiri. Semua ini terasa sangat rapuh seperti bunga ubi ungu di kebunku. Ah, benar-benar tidak romantis sama sekali. Apalah arti romantis dalam cerita ini selain kepedulian dan perhatianku pada setangkai bunga yang bisa kusut kapan saja ini. Aku tahu terlalu berlebihan menyebut diriku dramatis tapi sungguh ketahuilah hidup seperti yang Aku rasakan ini, menuntutku untuk menjadi seseorang yang menerima, bukan malah melarikan diri dari diriku sendiri.
Ya, mengajari kembali diri sendiri untuk menerima keadaan diri karena pengalaman masa kecil atau istilahnya reparenting. Aku menceritakan alasanku kenapa perlu mengajariku kembali.