Tak Adil untuk Menyimpanmu dalam Wujud Kebencian
Setiap orang tentu pernah mengalami sakitnya dikecewakan seseorang yang kita harap bisa menjadi pelindung. Orang tua misalnya. Mereka adalah orang pertama yang akan memberi pengaruh besar bagi kita melihat dunia.
Berulangkali kuyakinkan diriku bahwa aku layak dicintai. Pengalaman masa kecil itu kembali teringat dibenakku dengan jelas. Seperti belati yang mengoyak hatiku pelan-pelan kurasakan sakit itu masih menjalar seperti baru tadi saja kualami. Perasaan diabaikan, tak punya tempat bersandar dan sendirian. Aku menangis lagi untuk semua rasa itu. Padahal jika karena ucapanku tidak berkenan di hatinya dia bisa menegurku pelan-pelan dan memberitahuku bahwa kata-kata yang kuucapkan tadi adalah kata kasar yang tak baik diucapkan apalagi pada orang tua. Tapi yang kudapat adalah aku dihakimi bahwa aku layak ditampar. Sedih sekali pengalaman pagi itu, aku merasa tak layak bicara tak layak dapat perhatian. Apalagi aku berangkat sekolah dengan jalan kaki sambil menangis sepanjang jalan sementara ayahku dan adikku naik sepeda. Banyak orang menanyaiku kenapa tidak bareng ayahku tadi. Aku bahkan tak sanggup mengeluarkan suara karena untuk bernapas pun rasanya sangat sesak.
Sejak hari itu, aku semakin tak percaya bahkan pada keluargaku sendiri. Karena disaat aku ingin tempat nyaman untuk bersandar aku tak menemukan apapun selain penghakiman betapa lemahnya diriku. Aku kedinginan dan memaksa diri terus berjalan mencari tempat hangat dulu dan sekarang. Saat pikiran negatif menguasaiku, betapa tak berharganya aku. Diriku kembali berkata dengan lembut bahwa aku layak hidup, dicintai dan didengar keluh kesahku betapapun membosankannya itu.
Sekarang aku ingin percaya dan percaya bahwa Tuhan akan memberiku kesempatan untuk menemukan dan membuat tempat hangat itu menjadi kenyataan. Karena aku layak hidup. Aku berhak hidup. Aku berhak dihargai. Aku berhak dicintai.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda