Senin, 18 Mei 2020

Hutan di Kepalamu

pinterest.co.uk


Orang mungkin berpikir mudah memilih teman di kepalamu. Tentang apa yang layak dipikirkan dan apa yang layak dibuang. Namun baginya, ini adalah kondisi perang yang sangat rumit. Sementara ia sama sekali tak dibekali dengan senjata yang canggih. Apakah peperangan ini hanya bisa dimenangkan oleh senjata canggih? Atau kalau dirinya bercerita tentang perang-perang itu pada orang lain maka akan percaya. “Jangan jadi orang seperti tidak punya Tuhan. Kau bisa minta tolong padaNya, agar kau bisa memenangkan pertarunganmu sendiri. Lewat doa. Senjatamu hanya doa yang penuh harap, kau tahu mudah bukan!” kata orang-orang padanya sambil lalu. Padahal, dia sama sekali tidak mengerti dimana letak usaha manusia jika semua masalahnya diserahkan pada Tuhan. Sementara, dia hanya disuruh berpangku tangan, menanti keajaiban dunia baru tanpa perang. Tunjukkan padanya bagaimana perang itu berlangsung. Mungkin mereka akan terdiam.


Namanya Dia. Hingga saat ini ada satu buku yang tak pernah tuntas ia baca, hampir semua karya Virginia Wolf tidak pernah selesai dia cerna. Otaknya tumpul mengartikan perang pikiran dengan diri sendiri yang tak mengenal waktu dan tempat. Sama seperti apa yang ia alami selama ini. Orang biasa akan dengan mudah mencerna Mrs. Dalloway atau novel Virginia yang lain. Semudah membaca Harry Potter yang sekali duduk selesai dan mengatakan bahwa Virginia sangat rumit, mungkin sakit jiwa dan harusnya tidak selemah itu. Baginya, novel-novel Virginia adalah bentuk lain dari perang yang ada di kepalanya. Pikiran Virginia serupa hutan yang tak terjamah. Gelap dan liar. Pikiran yang seperti punya pikiran sendiri, hingga akhirnya Virginia tidak tahan dan memilih tenggelam dalam gelapnya sungai di Sungai Ouse, North Yorkshire, Inggris. Bukan akhir seperti itu yang diharapkan Virginia sesungguhnya. Bagaimana tidak Virginia adalah wanita sukses, cantik dan cerdas. Ada banyak hal yang sesungguhnya bisa membuatnya bahagia. Nyatanya tidak demikian. Pengobatan kala itu belum tersedia dan menurutnya itulah satu-satunya jalan keluar dari perang. 

Dia adalah orang pertama yang merumuskan kredo baru bahwa "Pikiran adalah tempat paling liar di muka bumi". Sering aku, temukan dia mencorat-coret buku hariannya. Entah pagi, malam, atau ketika tidak ada alasan untuk memejamkan mata. Lama kelamaan kulihat buku-buku mengakar menjadi serumpun hutan di kamarnya. Disudut-sudutnya tumbuh tunas-tunas baru, masih hijau dan terkadang belum sempat menghijau lantas membusuk. Sementara, pohon tua gemar menebar benih-benih baru. Angin yang kau percaya akan mendamaikan siklus ini, ternyata semakin asyik memancing keributan. Pohon-pohon tumbang. Tunas-tunas baru bermunculan. Jamur-jamur bermekaran dan cacing-cacing berpesta. Babi-babi menghasilkan banyak babi dan harimau mengancam babi. Sebuat siklus yang tidak akan pernah selesai, indah, bergelora dalam diam, dan penuh hubungan yang tidak pernah selesai. 

Contoh sederhananya sempat dia katakan padaku. Katanya, singkat saja, kau boleh mengatakan telah mengenal pacarmu dengan baik. Tapi apakah ada jaminan bahwa kau tahu apa yang beranak pinak di kepalanya. Hutan macam apa yang menghidupi pikirannya. Apa yang menjadi cita-citanya. Apa yang membuatnya semangat menjalani hidup. Apa yang menjadi visinya dalam hidup. Hewan macam apa yang mengancamnya. Pohon apa yang roboh saat badai itu datang. Semua luka-lukanya yang tak terlihat adalah duri yang kapan saja bisa membuatnya berdarah jika kembali tergores. 

Hutan itu ada. Hanya butuh pengakuan agar kau bisa terlepas dari kegelapannya. Mencoba berpikir jernih dan menerima kegelapan itu apa adanya. Bukan dengan dilebih-lebihkan apalagi ditambah kepanikan. Tapi siapa yang menjamin tidak ada situasi yang lebih rumit lagi. Sekarang 2020 kita dihadapkan dengan serangkaian ketidakpastian yang menghantam berturut-turut. Pandemi terbesar menghantam seluruh dunia. Krisis dimana-mana siap menghantui kapan saja bahkan sebelum pandemi ini sempat berlalu. Kondisi psikologis yang rentan berada di titik terendah. Intinya, sembuhkan dulu lukanmu dan rasakan setiap kesakitannya. Namun jangan berlarut-larut. Aku tahu kepalamu adalah hutan penuh dengan banyak ide, pikiran, dan emosi. Semua itu adalah harta berharga. Juga percayalah bahwa hutan tak selamanya menakutkan, mereka menyimpan nyanyian merdu burung juga bunga-bunga berwarna. Kita hanya perlu keberanian untuk terus berjalan namun jika berjalan masih terlalu sulit dilakukan maka genggamlah tanganku dan kau tak sendirian disini. 

Kiranya akan kututup tulisan ini dengan secercah harapan untuk kita:
“Your head is a living forest full of song birds.” – E.E. Cummings



0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda