Selasa, 09 Juni 2020

Aku Akan dan Terus Merindukanmu

Apa yang orang bilang tentang perpisahan selalu benar. Mendapat kata pamit sebagai kata lain dari perpisahan tidak kusangka meninggalkan rasa yang seabstrak ini. Memang kau bebas mengatakannya tanpa peduli ada rasa sesak yang mengintai. Sementara, aku, akan hidup sebagai orang asing di kamar ini yang semakin sesak tanpa dirimu. Aku tak pernah menyukai "pertikaian" namun pamit sungguh merupakan adalah awal "pertikaian" bagiku. Mereka menyimpan sebilah belati di lengan pelukan dan kenangan tentang mereka seperti liken yang terus menempel pada pohon untuk menandai bahwa mereka akan terus hidup disana bukan untuk waktu singkat. 

Saat kau bilang pamit, aku menemukan kembali diriku sedang hidup di masa lalu. Kita di pantai. Menghabiskan senja di tepi pantai dan masih membawa buku sketsa bersama kita. Terlihat aneh untuk ukuran manusia yang katanya modern masih membawa buku sket saat akhir pekan. Sungguh, tidak demikian adanya, bagiku  kenyataan bahwa sketsa adalah sebuah proses keindahan adalah mutlak. Sama seperti manusia yang terus berproses untuk kemudian hilang dari peredaran maka aku ingin membuatnya abadi dengan melukis apapun yang kuinginkan semauku. Itulah, gunanya seni. Mereka tidak menuntutmu menjadi the next Picasso, Michaelangelo, van Gogh, Monet, atau Hopper. Mereka hanya memintamu menghargai waktu dan kenangan dengan menjadikan waktu sebagai cat dan kenangan sebagai kanvas untuk melukiskan sejarah hidupmu yang baru, meskipun mereka tak lagi menemanimu.

Sempat aku melukis lengan kepiting sambil duduk di bebatuan bibir pantai dan kau menemani keanehanku ini. Aku menemukan lengan kepiting di atas batu. Mungkin lengan itu masih ingin mencubit udang atau bahkan juga gemas dengan pipimu yang kemerah-merahan itu. 

Apa yang lebih indah selain melukis di tepi pantai, sayang. Andai saja waktu itu aku berani menatap wajahmu. Akan kulukiskan ranum sang surya dalam tirai langit senja yang jatuh di parasmu. 

Saat itu, aku melihat masa depan, aku melihat masa lalu sebagaimana kau melihat dirimu. Penuh janji dan kepastian layaknya pucuk tunas di musim semi. Aku melihatmu melalui mata sepasang anak-anak lucu yang bermain air dengan ayahnya. Aku melihat dirimu lewat tiupan angin untuk cintanya pada rujung pinus pantai. Apa yang lebih damai dari ini semua, kekasih? 

Banyak air tergenang di jalan-jalan yang kita lalui. Air laut kadang melompat jauh ke daratan. Sementara bebatuan masih terus bergeming di ujung sana. Kemudian detik berikutnya aku tersadar bahwa semua ini sementara dan kau baru saja bilang selamat tinggal. Untuk kebersamaan yang singkat dan kenangan yang abadi. Terima kasih.

n.b.:
Dari kawanmu untuk siapapun yang memutuskan pamit. Aku bakal kangen berat. Aku yakin itu.

Label:

Minggu, 31 Mei 2020

Apapun itu

Sayang, kurasa tidak ada bedanya laut dan langit yang tumpah di dadamu, kekasih.

Pernah suatu pagi, aku mengunjungi langit.
Terdengar menggelegar, pekat dan tidak tersenyum.
Lalu aku menutup jendela dan pintu-pintu.
Kulihat di ujung meja dengan kertas yang masih meneteskan gelap mendung di dadamu.
Kau pergi, sebelum sempat aku tanyakan kenapa.
Sungguh, bukan hal mudah menerbitkan matahari dari balik awan gelap.
Di dadaku tak henti-hentinya kurajut doa-doa.
Agar doa itu mampu berlari menembus badai dan sajak ini dapat membersamaimu dalam hujan.
Doaku selalu berharap mampu memelukmu serupa laut.
Sementara, langit menjadi lengan-lengan yang menggenggam tanganmu saat aku tak disimu.

n.b:
sajak lepas dari lagu Ai ni Dekiru koto wa Mada Arukai (Is There Still Anything That Love Can Do?)- RADWAMPS

Label: