Inner Child
“Di dunia ini ada tiga urusan; urusan
Tuhan, urusan orang lain, dan urusan Anda sendiri” kata Ellen Kristie.
Semalam, dia berkisah padaku, wajahnya sayu
dia seperti sudah mau menyerah. Ada dirinya yang lain yang tidak ia mengerti.
Katanya ada penguasa lain yang seringkali mengambil alih kendali berpikirnya.
Kadang kala dia merasa mudah tersinggung, marah, dan menangis sendiri tanpa tau
apa alasannya. Pengalaman pahit masa lalu sering muncul di depan mata tanpa
membiarkan dia berfikir apakah ia hidup di masa sekarang atau di massa lalu.
Waktu seakan tak lagi berarti. Pengalaman-pengalaman menyakitkan, tangis yang
terbungkam, dan rasa sesak di dada seperti masih nyata dia rasakan. Awalnya, aku
tidak mengerti apa yang dia bicarakan. Aku hanya mendengar dia bercerita.
Hingga akhirnya, dia menangis sesenggukan akan ceritanya sendiri. Seperti dia
baru saja mengalami peristiwa menyakitkan itu, padahal kejadiannya sudah
berlangsung puluhan tahun yang lalu.
Membiarkan dia menangis dibahuku seperti
itu membuatku merasa bingung dan lega. Bingung karena merasa apakah
keberadaanku ini cukup berguna untuk meringankan sedihnya. Di satu sisi aku
lega bahwa dia hanya menangis seperti itu denganku artinya dia merassa aman
bercerita padaku. Berbulan-bulan telah berlalu sejak kejadian itu, aku baru
mengerti teori Inner child yang popular dalam ilmu psikologi tahun
1970-an. Dalam teori Inner child memiliki sudut pandang bahwa karakter
kita yang sekarang memiliki akar dari bagaimana orang tua membesarkan kita
dulu. Mungkin, dia ini dibesarkan dalam keluarga yang sangat melarangnya untuk
menangis, sering memarahi, bahkan memukul hingga dia menekan rasa sakit hati
dalam-dalam. Akibatnya, tumpukan masalah itu ibarat gunung es yang kapan saja
bisa meledak.
“Penderitaan yang pernah dialami adalah
pelajaran untuk bertumbuh. Semua masalah itu adalah petunjuk ke mana kita harus
bertumbuh. Pertanyaannya adalah apakah kita benar-benar mau menerima
pelajarannya?”
Pada titik tertentu, seseorang mungkin
memilih lari dari kenyataan, membutakan diri dari konfilk batin dan menikmati
posisi sebagai korban. Karena itulah zona nyaman untuk dirinya. Agar kita tidak terus
terjebak dalam Inner child yang menyiksa setiap waktu, maka ‘program
lama’ yang telah tertanam dalam dalam diri harus diubah. Hal pertama yang mungkin untuk dilakukan adalah dengan mengakui ada yang tidak beres dengan diri ini.
Kita mungkin
pernah berada pada titik tergelap, namun kita bisa menjadikan titik gelap itu
sebagai kekuatan untuk berdamai dengan diri sendiri lalu berdamai dengan
realitas. Dalam istilah Carl Jung, seseorang harus
bisa benar-benar berdamai dengan diri sendiri. Akan tetapi ini adalah pekerjaan
yang sangat sulit dan menyakitkan. Mengakui ada yang salah dalam diri kita
adalah pekerjaan sulit.
Jika kita sudah tahu akar permasalahannya.
Maka aku mencoba mendekati dia pelan-pelan dan aku katakan padanya untuk
berhenti menyalahkan orang tuanya atas apa yang terjadi. Cobalah untuk
memaafkan dan mengambil alih tanggung jawab serta menerima bahwa dialah yang harus
menjadi nahkoda untuk hidupnya sendiri. Dia hanya bisa mengatur dan mengubah
perilaku, pikiran, dan sikapnya sendiri. Walaupun, mengutuki dan menyalahkan orang lain atas apa yang terjadi pada diri sendiri memang mudah dilakukan. Namun, bukan itu titik tolak untuk sembuh dari gangguan ini. Inner
child adalah urusan yang berkecamuk dalam diri masing-masing individu dan orang lain hanya bisa memantau dari luar tanpa bisa masuk terlalu dalam.
Kenyataan bahwa tidak
semua orang diberi kesempatan mengalami ‘kegelapan’, dan kamu bisa berjuang
mengubah kegelapan itu menjadi pelajaran, akan menjadikan hidupmu lebih
terang dari sebelumnya. So, jangan menyerah, terus berjuang mengganti 'program lama' dengan 'program baru' yang lebih canggih daripada sebelumnya. Aku yakin kamu bisa. Fighting !!!! :)
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda