Rabu, 20 Mei 2020

Inner Child




“Di dunia ini ada tiga urusan; urusan Tuhan, urusan orang lain, dan urusan Anda sendiri” kata Ellen Kristie.



Semalam, dia berkisah padaku, wajahnya sayu dia seperti sudah mau menyerah. Ada dirinya yang lain yang tidak ia mengerti. Katanya ada penguasa lain yang seringkali mengambil alih kendali berpikirnya. Kadang kala dia merasa mudah tersinggung, marah, dan menangis sendiri tanpa tau apa alasannya. Pengalaman pahit masa lalu sering muncul di depan mata tanpa membiarkan dia berfikir apakah ia hidup di masa sekarang atau di massa lalu. Waktu seakan tak lagi berarti. Pengalaman-pengalaman menyakitkan, tangis yang terbungkam, dan rasa sesak di dada seperti masih nyata dia rasakan. Awalnya, aku tidak mengerti apa yang dia bicarakan. Aku hanya mendengar dia bercerita. Hingga akhirnya, dia menangis sesenggukan akan ceritanya sendiri. Seperti dia baru saja mengalami peristiwa menyakitkan itu, padahal kejadiannya sudah berlangsung puluhan tahun yang lalu.



Membiarkan dia menangis dibahuku seperti itu membuatku merasa bingung dan lega. Bingung karena merasa apakah keberadaanku ini cukup berguna untuk meringankan sedihnya. Di satu sisi aku lega bahwa dia hanya menangis seperti itu denganku artinya dia merassa aman bercerita padaku. Berbulan-bulan telah berlalu sejak kejadian itu, aku baru mengerti teori Inner child yang popular dalam ilmu psikologi tahun 1970-an. Dalam teori Inner child memiliki sudut pandang bahwa karakter kita yang sekarang memiliki akar dari bagaimana orang tua membesarkan kita dulu. Mungkin, dia ini dibesarkan dalam keluarga yang sangat melarangnya untuk menangis, sering memarahi, bahkan memukul hingga dia menekan rasa sakit hati dalam-dalam. Akibatnya, tumpukan masalah itu ibarat gunung es yang kapan saja bisa meledak.



Penderitaan yang pernah dialami adalah pelajaran untuk bertumbuh. Semua masalah itu adalah petunjuk ke mana kita harus bertumbuh. Pertanyaannya adalah apakah kita benar-benar mau menerima pelajarannya?



Pada titik tertentu, seseorang mungkin memilih lari dari kenyataan, membutakan diri dari konfilk batin dan menikmati posisi sebagai korban. Karena itulah zona nyaman untuk dirinya.  Agar kita tidak terus terjebak dalam Inner child yang menyiksa setiap waktu, maka ‘program lama’ yang telah tertanam dalam dalam diri harus diubah. Hal pertama yang mungkin untuk dilakukan adalah dengan mengakui ada yang tidak beres dengan diri ini.

Kita mungkin pernah berada pada titik tergelap, namun kita bisa menjadikan titik gelap itu sebagai kekuatan untuk berdamai dengan diri sendiri lalu berdamai dengan realitas. Dalam istilah Carl Jung, seseorang harus bisa benar-benar berdamai dengan diri sendiri. Akan tetapi ini adalah pekerjaan yang sangat sulit dan menyakitkan. Mengakui ada yang salah dalam diri kita adalah pekerjaan sulit. 

Jika kita sudah tahu akar permasalahannya. Maka aku mencoba mendekati dia pelan-pelan dan aku katakan padanya untuk berhenti menyalahkan orang tuanya atas apa yang terjadi. Cobalah untuk memaafkan dan mengambil alih tanggung jawab serta menerima bahwa dialah yang harus menjadi nahkoda untuk hidupnya sendiri. Dia hanya bisa mengatur dan mengubah perilaku, pikiran, dan sikapnya sendiri. Walaupun, mengutuki dan menyalahkan orang lain atas apa yang terjadi pada diri sendiri memang mudah dilakukan. Namun, bukan itu titik tolak untuk sembuh dari gangguan ini.  Inner child adalah urusan yang berkecamuk dalam diri masing-masing individu dan orang lain hanya bisa memantau dari luar tanpa bisa masuk terlalu dalam. 

Kenyataan bahwa tidak semua orang diberi kesempatan mengalami ‘kegelapan’, dan kamu bisa berjuang mengubah kegelapan itu menjadi pelajaran, akan menjadikan hidupmu lebih terang dari sebelumnya. So, jangan menyerah, terus berjuang mengganti 'program lama' dengan 'program baru' yang lebih canggih daripada sebelumnya. Aku yakin kamu bisa. Fighting !!!! :)  

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda