Menepi
Apa yang terbersit
dipikiranmu ketika menjumpai kata ‘meninggalkan peradaban’? Terasing, kesepian, dan mengerikan. Well, disini aku hanya ingin sedikit bercerita tentang apa yang aku rasakan akhir-akhir ini. Hidup di pedesaan selama pandemi ternyata sangat efektif mengurai benang kusut di kepala. Hidup di pedesaan jauh dari peradaban dan meninggalkan peradaban adalah surga.
Sebelumnya, pernahkah kita sadari bahwa selama ini hidup penuh dengan waktu yang membuat kita merasa seperti terpenjara dalam kebebasan? Kita bebas secara fisik tapi mental kita terpenjara. Bangun untuk menyadari banyak hal yang harus dikejar dan waktu kita yang sangat terbatas. Hingga tak memberi kesempatan untuk bernafas. Dunia seolah-olah ingin menelanmu jika kau tak lekas bergegas. Sangat melelahkan. Apalagi untuk orang-orang introvert yang mudah tertekan, kondisi ini akan menjadikan mereka cepat kehabisan energi dan terjerumus dalam depresi. Luar biasa. Sementara itu media sosial penuh orang-orang yang kalau kata Aan Mansyur:
“Mereka bicara tentang
segala sesuatu, tapi kata-kata mereka tidak mengatakan apa-apa. Mereka tertawa
dan menipu diri sendri menganggap hidup mereka baik-baik saja. Mereka berpesta
dan membunuh anak kecil dalam diri mereka. ”
“Aku senang berada di antara orang-orang yang patah hati. Mereka tidak banyak bicara, jujur, dan berbahaya. Mereka tahu apa yang mereka cari. Mereka tahu dari diri mereka ada yang telah dicuri.”
Ah, benar. Dunia memang sudah sangat gila bahkan sejak awal, maka jangan heran jika lebih banyak orang patah hati dibanding senyum semu foto para calon legislatif di pinggir jalan. Lagipula tentang orang patah
hati tidak selalu berarti dia dikecewakan oleh cinta. Patah hati bagiku
memiliki makna yang sangat luas. Patah hati adalah segala hal yang mewujud kebohongan berselimut kebenaran. Setiap orang pernah patah hati. Bohong sekali
jika mereka bilang tak pernah patah hati selama hidupnya. Ada banyak cara
hidup memberi pelajaran tentang patah hati. Mereka yang dikecewakan oleh mimpi
dan harapan adalah patah hati. Mereka yang terlihat hidup sempurna tapi batinnya menangis adalah patah hati. Dan sistem masyarakat yang penuh tekanan, tuntutan, todongan adalah patah hati yang tumbuh subur di tanah ini.
Tak heran bila seorang Alexander Supertramp atau yang memiliki nama asli Christopher Johnson McCandless memilih menjadi penjelajah dan hidup bebas di alam liar dibandingkan masuk Havard jurusan hukum. Christopher McCandless memilih menjauh dari hingar bingar kehidupannya yang bisa dibilang sudah mapan demi dapat menyatu dengan alam karena ia tahu apa yang benar-benar ia inginkan.
Lingkungan keluarga yang
menurutnya penuh kemunafikan, terutama dari kedua orang tuanya dimana sang ayah
sering melakukan kekerasan pada ibunya dan menutup-nutupi apa yang terjadi
dalam rumah agar tampak sempurna di mata orang lain. Hal itulah yang membuat
McCandless merasa lelah dibohongi dengan semua kemapanan dan kenyamanan yang
nyatanya penuh kepalsuan. Ia tak ingin terus hidup dalam patah hati.
Kutipan dari Thoreau ini sangat menarik bagi McChandless:
“Rather than love, than money, than faith, than fame, than fairness… give me truth.”
McChndless benar-benar menginginkan hidup yang jauh dari
peradaban dan “menemukan dirinya.” Dia benar-benar ingin survival di
alam liar. Tanpa telepon genggam dan jauh dari bising orang-orang yang sibuk menunjukkan kesuksesan mereka.
Maka berkatakalah kehidupan, “cobalah menepi sejenak, lepaskan semua perhiasan dunia, mereka tak lebih dari sekedar pakaian mewah yang membuatmu sesak napas.” Akhirnya pada akhir Juni 1990 McChandless memulai petualangannya di alam liar Alaska yang baginya adalah sebuah perjalanan yang:
“Tak lagi diracuni oleh peradaban, ia lari, dan berjalan sendiri menyusuri daratan agar hilang di alam liar”
Dan kini saatnya bilang welcome to the jungle. hahaha... Benar-benar nekad karena bisa dibilang wawasan survival McChandless di alam liar tergolong minim. Padahal Alaska dikenal sangat ganas, sunyi dan penuh kebekuan. Parahnya lagi segala perbekalannya dibuang, peta, dan bahkan jamnya dia tinggalkan. McChandless hanya ingin menjalani hidup tanpa tahu hari apa itu, waktu apa itu atau di mana ia berada. Namun, akhirnya dia ditemukan tewas karena keracunan tumbuhan liar di kantong tidurnya.
Disini yang ingin aku
sampaikan adalah, bahwa naluri alami manusia adalah untuk bebas. Manusia
dilahirkan untuk tidak terikat dengan segala distraksi yang bisa saja menggerus
kepribadiannya sendiri. Tiap hari kita ‘bergesekan’ dengan orang lain hingga kita
jarang mengajak diri sendiri berbincang tentang apa yang sebenarnya kita inginkan dalam hidup. Jangan sampai di
ujung pencarian nanti, kau akan menemukan diri yang tidak lagi dimiliki
sendiri. Keinginaan, kebahagiaan, dan hasrat kita disetir oleh orang lain. Sama
seperti McChandless yang tidak ingin disetir oleh keinginan orang tuanya agar meneruskan
kehidupan mapan namun tak sesuai dengan kata hatinya, dia dengan senang hati menjalani idealismenya di alam liar.
Bagiku McChandless adalah sosok pribadi yang ekstremis dan idealis. Dia memilih menjalani hidup dengan caranya sendiri dan melupakan semua sistem dalam kehidupan sosialnya. Ada sekelompok orang yang menjudge bahwa McChandless adalah orang bodoh namun banyak pula yang menjunjungnya tinggi-tinggi sebagai seorang petualang sejati.
Yah, sebagai makhluk yang
lemah, aku sangat mengapresiasi keberanian McChandless karena aku sendiripun tidak benar-benar yakin bisa bertahan selama 113 hari seperti dia di alam liar, haha. Sempat terbersit dalam benakku betapa kuatnya idealisme seorang McChandless. Kita dapat belajar darinya
sebagai salah satu pendobrak yang mengajak kita menelisik kembali apa yang
sebenarnya kita maui dalam hidup.
Mencoba lebih sering mengunjungi kedalaman
sanubari kita dan mengajaknya berbincang tentang apa saja saat akhir pekan
adalah solusi yang paling bagus untuk saat ini. Atau bisa juga dengan
menjauhkan diri sejenak dari riuh dunia dengan menepi. Nonaktifkan sebentar semua media
sosial, kemudian habiskan waktu untuk berbincang dengan ibu dan bapak di
kampung. Rasakan segarnya udara pagi disana dan jalan-jalanlah ke pelosok
desa. Aku rasa itu adalah terapi yang paling manjur agar kita tidak terus merasa
seperti ‘budak peradaban’ yang tak kenal belas kasihan.
Selamat berakhir pekan, kawan . .
Maafkan aku yang sering terlambat membalas pesan kalian hehe