Sabtu, 27 Juni 2020

Menepi

Apa yang terbersit dipikiranmu ketika menjumpai kata ‘meninggalkan peradaban’? Terasing, kesepian, dan mengerikan. Well, disini aku hanya ingin sedikit bercerita tentang apa yang aku rasakan akhir-akhir ini. Hidup di pedesaan selama pandemi ternyata sangat efektif mengurai benang kusut di kepala. Hidup di pedesaan jauh dari peradaban dan meninggalkan peradaban adalah surga.

Sebelumnya, pernahkah kita sadari bahwa selama ini hidup penuh dengan waktu yang membuat kita merasa seperti terpenjara dalam kebebasan? Kita bebas secara fisik tapi mental kita terpenjara. Bangun untuk menyadari banyak hal yang harus dikejar dan waktu kita yang sangat terbatas. Hingga tak memberi kesempatan untuk bernafas. Dunia seolah-olah ingin menelanmu jika kau tak lekas bergegas. Sangat melelahkan. Apalagi untuk orang-orang introvert yang mudah tertekan, kondisi ini akan menjadikan mereka cepat kehabisan energi dan terjerumus dalam depresi. Luar biasa. Sementara itu media sosial penuh orang-orang yang kalau kata Aan Mansyur:

Mereka bicara tentang segala sesuatu, tapi kata-kata mereka tidak mengatakan apa-apa. Mereka tertawa dan menipu diri sendri menganggap hidup mereka baik-baik saja. Mereka berpesta dan membunuh anak kecil dalam diri mereka.

Aku senang berada di antara orang-orang yang patah hati. Mereka tidak banyak bicara, jujur, dan berbahaya. Mereka tahu apa yang mereka cari. Mereka tahu dari diri mereka ada yang telah dicuri.

Ah, benar. Dunia memang sudah sangat gila bahkan sejak awal, maka jangan heran jika lebih banyak orang patah hati dibanding senyum semu foto para calon legislatif di pinggir jalan. Lagipula tentang orang patah hati tidak selalu berarti dia dikecewakan oleh cinta. Patah hati bagiku memiliki makna yang sangat luas. Patah hati adalah segala hal yang mewujud kebohongan berselimut kebenaran. Setiap orang pernah patah hati. Bohong sekali jika mereka bilang tak pernah patah hati selama hidupnya. Ada banyak cara hidup memberi pelajaran tentang patah hati. Mereka yang dikecewakan oleh mimpi dan harapan adalah patah hati. Mereka yang terlihat hidup sempurna tapi batinnya menangis adalah patah hati. Dan sistem masyarakat yang penuh tekanan, tuntutan, todongan adalah patah hati yang tumbuh subur di tanah ini.

Tak heran bila seorang Alexander Supertramp atau yang memiliki nama asli Christopher Johnson McCandless memilih menjadi penjelajah dan hidup bebas di alam liar dibandingkan masuk Havard jurusan hukum. Christopher McCandless memilih menjauh dari hingar bingar kehidupannya yang bisa dibilang sudah mapan demi dapat menyatu dengan alam karena ia tahu apa yang benar-benar ia inginkan.

Lingkungan keluarga yang menurutnya penuh kemunafikan, terutama dari kedua orang tuanya dimana sang ayah sering melakukan kekerasan pada ibunya dan menutup-nutupi apa yang terjadi dalam rumah agar tampak sempurna di mata orang lain. Hal itulah yang membuat McCandless merasa lelah dibohongi dengan semua kemapanan dan kenyamanan yang nyatanya penuh kepalsuan. Ia tak ingin terus hidup dalam patah hati.

Kutipan dari Thoreau ini sangat menarik bagi McChandless:

Rather than love, than money, than faith, than fame, than fairness… give me truth.

McChndless benar-benar menginginkan hidup yang jauh dari peradaban dan “menemukan dirinya.” Dia benar-benar ingin survival di alam liar. Tanpa telepon genggam dan jauh dari bising orang-orang  yang sibuk menunjukkan kesuksesan mereka.

Maka berkatakalah kehidupan, “cobalah menepi sejenak, lepaskan semua perhiasan dunia, mereka tak lebih dari sekedar pakaian mewah yang membuatmu sesak napas.” Akhirnya pada akhir Juni 1990 McChandless memulai petualangannya di alam liar Alaska yang baginya adalah sebuah perjalanan yang:

Tak lagi diracuni oleh peradaban, ia lari, dan berjalan sendiri menyusuri daratan agar hilang di alam liar” 

Dan kini saatnya bilang welcome to the jungle. hahaha...  Benar-benar nekad karena bisa dibilang wawasan survival McChandless di alam liar tergolong minim. Padahal Alaska dikenal sangat ganas, sunyi dan penuh kebekuan. Parahnya lagi segala perbekalannya dibuang, peta, dan bahkan jamnya dia tinggalkan. McChandless hanya ingin menjalani hidup tanpa tahu hari apa itu, waktu apa itu atau di mana ia berada. Namun, akhirnya dia ditemukan tewas karena keracunan tumbuhan liar di kantong tidurnya.

Disini yang ingin aku sampaikan adalah, bahwa naluri alami manusia adalah untuk bebas. Manusia dilahirkan untuk tidak terikat dengan segala distraksi yang bisa saja menggerus kepribadiannya sendiri. Tiap hari kita ‘bergesekan’ dengan orang lain hingga kita jarang mengajak diri sendiri berbincang tentang apa yang sebenarnya  kita inginkan dalam hidup. Jangan sampai di ujung pencarian nanti, kau akan menemukan diri yang tidak lagi dimiliki sendiri. Keinginaan, kebahagiaan, dan hasrat kita disetir oleh orang lain. Sama seperti McChandless yang tidak ingin disetir oleh keinginan orang tuanya agar meneruskan kehidupan mapan namun tak sesuai dengan kata hatinya, dia dengan senang hati menjalani idealismenya di alam liar.

Bagiku McChandless adalah sosok pribadi yang ekstremis dan idealis. Dia memilih menjalani hidup dengan caranya sendiri dan melupakan semua sistem dalam kehidupan sosialnya. Ada sekelompok orang yang menjudge bahwa McChandless adalah orang bodoh namun banyak pula yang menjunjungnya tinggi-tinggi sebagai seorang petualang sejati.

Yah, sebagai makhluk yang lemah, aku sangat mengapresiasi keberanian McChandless karena aku sendiripun tidak benar-benar yakin bisa bertahan selama 113 hari seperti dia di alam liar, haha. Sempat terbersit dalam benakku betapa kuatnya idealisme seorang  McChandless. Kita dapat belajar darinya sebagai salah satu pendobrak yang mengajak kita menelisik kembali apa yang sebenarnya kita maui dalam hidup.

Mencoba lebih sering mengunjungi kedalaman sanubari kita dan mengajaknya berbincang tentang apa saja saat akhir pekan adalah solusi yang paling bagus untuk saat ini. Atau bisa juga dengan menjauhkan diri sejenak dari riuh dunia dengan menepi. Nonaktifkan sebentar semua media sosial, kemudian habiskan waktu untuk berbincang dengan ibu dan bapak di kampung. Rasakan segarnya udara pagi disana dan jalan-jalanlah ke pelosok desa. Aku rasa itu adalah terapi yang paling manjur agar kita tidak terus merasa seperti ‘budak peradaban’ yang tak kenal belas kasihan.

Selamat berakhir pekan, kawan . .

Maafkan aku yang sering terlambat membalas pesan kalian hehe

Label: , ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda