Minggu, 02 Mei 2021

Review Buku Mendengar Nyanyian Sunyi

Poin penting buku ini adalah :

Its Okay for Being Introvert Person




Buku setebal 178 halaman karya Urfa Qurrotu Ainy, berkisah tentang apa saja yang dialami oleh orang introvert. Banyak review pembaca yang mengatakan bahwa buku ini terasa seperti teman yang sangat memahami apa yang dirasakan orang introvert tentu saya sangat setuju dengan pendapat itu. Baru membuka halaman pertama buku ini kita akan disuguhkan dengan kalimat yang sangat hangat:

"Jika di berbagai kamus kau tak menemukan definisi yang teat tentang sesuatu, mungkin sudah saatnya kau yang menciptakan definisimu sendiri. Buku ini didedikasikan untuk semua introver yang tengah berjuangcmenemukan dirinya di antara riuh dan gaduh. Genggamlah kata-kata ini: Kau berharga. Kau berhak bahagia."

Wow, sekali bukan. Itu semkin mempertegas kesan bahwa kita diterima apapun yang kita rasakan sekalipun dunia seringkali tak berpihak pada orang introver dengan segala stigma, pemalu, ngga asik, aneh dan sejenisnya.

Label: ,

Sabtu, 27 Juni 2020

Menepi

Apa yang terbersit dipikiranmu ketika menjumpai kata ‘meninggalkan peradaban’? Terasing, kesepian, dan mengerikan. Well, disini aku hanya ingin sedikit bercerita tentang apa yang aku rasakan akhir-akhir ini. Hidup di pedesaan selama pandemi ternyata sangat efektif mengurai benang kusut di kepala. Hidup di pedesaan jauh dari peradaban dan meninggalkan peradaban adalah surga.

Sebelumnya, pernahkah kita sadari bahwa selama ini hidup penuh dengan waktu yang membuat kita merasa seperti terpenjara dalam kebebasan? Kita bebas secara fisik tapi mental kita terpenjara. Bangun untuk menyadari banyak hal yang harus dikejar dan waktu kita yang sangat terbatas. Hingga tak memberi kesempatan untuk bernafas. Dunia seolah-olah ingin menelanmu jika kau tak lekas bergegas. Sangat melelahkan. Apalagi untuk orang-orang introvert yang mudah tertekan, kondisi ini akan menjadikan mereka cepat kehabisan energi dan terjerumus dalam depresi. Luar biasa. Sementara itu media sosial penuh orang-orang yang kalau kata Aan Mansyur:

Mereka bicara tentang segala sesuatu, tapi kata-kata mereka tidak mengatakan apa-apa. Mereka tertawa dan menipu diri sendri menganggap hidup mereka baik-baik saja. Mereka berpesta dan membunuh anak kecil dalam diri mereka.

Aku senang berada di antara orang-orang yang patah hati. Mereka tidak banyak bicara, jujur, dan berbahaya. Mereka tahu apa yang mereka cari. Mereka tahu dari diri mereka ada yang telah dicuri.

Ah, benar. Dunia memang sudah sangat gila bahkan sejak awal, maka jangan heran jika lebih banyak orang patah hati dibanding senyum semu foto para calon legislatif di pinggir jalan. Lagipula tentang orang patah hati tidak selalu berarti dia dikecewakan oleh cinta. Patah hati bagiku memiliki makna yang sangat luas. Patah hati adalah segala hal yang mewujud kebohongan berselimut kebenaran. Setiap orang pernah patah hati. Bohong sekali jika mereka bilang tak pernah patah hati selama hidupnya. Ada banyak cara hidup memberi pelajaran tentang patah hati. Mereka yang dikecewakan oleh mimpi dan harapan adalah patah hati. Mereka yang terlihat hidup sempurna tapi batinnya menangis adalah patah hati. Dan sistem masyarakat yang penuh tekanan, tuntutan, todongan adalah patah hati yang tumbuh subur di tanah ini.

Tak heran bila seorang Alexander Supertramp atau yang memiliki nama asli Christopher Johnson McCandless memilih menjadi penjelajah dan hidup bebas di alam liar dibandingkan masuk Havard jurusan hukum. Christopher McCandless memilih menjauh dari hingar bingar kehidupannya yang bisa dibilang sudah mapan demi dapat menyatu dengan alam karena ia tahu apa yang benar-benar ia inginkan.

Lingkungan keluarga yang menurutnya penuh kemunafikan, terutama dari kedua orang tuanya dimana sang ayah sering melakukan kekerasan pada ibunya dan menutup-nutupi apa yang terjadi dalam rumah agar tampak sempurna di mata orang lain. Hal itulah yang membuat McCandless merasa lelah dibohongi dengan semua kemapanan dan kenyamanan yang nyatanya penuh kepalsuan. Ia tak ingin terus hidup dalam patah hati.

Kutipan dari Thoreau ini sangat menarik bagi McChandless:

Rather than love, than money, than faith, than fame, than fairness… give me truth.

McChndless benar-benar menginginkan hidup yang jauh dari peradaban dan “menemukan dirinya.” Dia benar-benar ingin survival di alam liar. Tanpa telepon genggam dan jauh dari bising orang-orang  yang sibuk menunjukkan kesuksesan mereka.

Maka berkatakalah kehidupan, “cobalah menepi sejenak, lepaskan semua perhiasan dunia, mereka tak lebih dari sekedar pakaian mewah yang membuatmu sesak napas.” Akhirnya pada akhir Juni 1990 McChandless memulai petualangannya di alam liar Alaska yang baginya adalah sebuah perjalanan yang:

Tak lagi diracuni oleh peradaban, ia lari, dan berjalan sendiri menyusuri daratan agar hilang di alam liar” 

Dan kini saatnya bilang welcome to the jungle. hahaha...  Benar-benar nekad karena bisa dibilang wawasan survival McChandless di alam liar tergolong minim. Padahal Alaska dikenal sangat ganas, sunyi dan penuh kebekuan. Parahnya lagi segala perbekalannya dibuang, peta, dan bahkan jamnya dia tinggalkan. McChandless hanya ingin menjalani hidup tanpa tahu hari apa itu, waktu apa itu atau di mana ia berada. Namun, akhirnya dia ditemukan tewas karena keracunan tumbuhan liar di kantong tidurnya.

Disini yang ingin aku sampaikan adalah, bahwa naluri alami manusia adalah untuk bebas. Manusia dilahirkan untuk tidak terikat dengan segala distraksi yang bisa saja menggerus kepribadiannya sendiri. Tiap hari kita ‘bergesekan’ dengan orang lain hingga kita jarang mengajak diri sendiri berbincang tentang apa yang sebenarnya  kita inginkan dalam hidup. Jangan sampai di ujung pencarian nanti, kau akan menemukan diri yang tidak lagi dimiliki sendiri. Keinginaan, kebahagiaan, dan hasrat kita disetir oleh orang lain. Sama seperti McChandless yang tidak ingin disetir oleh keinginan orang tuanya agar meneruskan kehidupan mapan namun tak sesuai dengan kata hatinya, dia dengan senang hati menjalani idealismenya di alam liar.

Bagiku McChandless adalah sosok pribadi yang ekstremis dan idealis. Dia memilih menjalani hidup dengan caranya sendiri dan melupakan semua sistem dalam kehidupan sosialnya. Ada sekelompok orang yang menjudge bahwa McChandless adalah orang bodoh namun banyak pula yang menjunjungnya tinggi-tinggi sebagai seorang petualang sejati.

Yah, sebagai makhluk yang lemah, aku sangat mengapresiasi keberanian McChandless karena aku sendiripun tidak benar-benar yakin bisa bertahan selama 113 hari seperti dia di alam liar, haha. Sempat terbersit dalam benakku betapa kuatnya idealisme seorang  McChandless. Kita dapat belajar darinya sebagai salah satu pendobrak yang mengajak kita menelisik kembali apa yang sebenarnya kita maui dalam hidup.

Mencoba lebih sering mengunjungi kedalaman sanubari kita dan mengajaknya berbincang tentang apa saja saat akhir pekan adalah solusi yang paling bagus untuk saat ini. Atau bisa juga dengan menjauhkan diri sejenak dari riuh dunia dengan menepi. Nonaktifkan sebentar semua media sosial, kemudian habiskan waktu untuk berbincang dengan ibu dan bapak di kampung. Rasakan segarnya udara pagi disana dan jalan-jalanlah ke pelosok desa. Aku rasa itu adalah terapi yang paling manjur agar kita tidak terus merasa seperti ‘budak peradaban’ yang tak kenal belas kasihan.

Selamat berakhir pekan, kawan . .

Maafkan aku yang sering terlambat membalas pesan kalian hehe

Label: , ,

Sabtu, 13 Juni 2020

Review: Crime and Punishment

Novel karya Dostoyevsky paling popular yang berjudul Crime and Punishment ini akan mengajak kita menyelami petualangan psikologis Raskolnikov (Rodya) yang merancang dan melakukan pembunuhan untuk mewujudkan keyakinannya akan dunia yang lebih baik dengan cara membunuh. Cukup menantang dan membuat otak berpikir keras, tentang apa sebenarnya yang sebenarnya terjadi pada kejiwaan pelaku. Dalam novel ini kita akan dikenalkan dengan istilah kasus psikologi Homicidal mania. Homicidal mania adalah suatu kasus pembunuhan yang dilakukan tanpa motif untuk mengambil harta korban bahkan pelakunya tidak mengambil sepeserpun harta korban.  Kejahatan semacam itu hanya mungkin dilakukan dalam kondisi kejiwaan yang sedang kacau dan memang benar Raskolnikov dikisahkan mengalami banyak tekanan psikologis akibat kemiskinan. 

Aku menemukan novel ini setelah melihat tayangan TED-ed yang berjudul “Why we should read Crime and Punishment?” Aku pun memutuskan untuk membaca buku yang telah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia tebalnya sekitar 480 halaman dan aku hampir-hampir tidak ingin berhenti membacanya. Ceritanya sangat mengalir dan penuh kejutan.  Para tokoh yang dihadirkan mempunyai karakter yang sangat kuat dan sangat kritis pada kondisi di sekitarnya.  

Kalimat awal novel ini menampilkan dengan suasana ketakutan Raskolnikov saat hendak keluar dari kamar dengan mengendap-endap, agar tak ketahuan ibu kos yang sangat galak. Kondisi kamar Raskolnikov yang digambarkan sangat berantakan dimana baju-baju bertumpukan di sofa dan debu-debu mengerak di atas meja cukup untuk menggambarkan kondisi psikis yang sedang tidak baik.

Raskolnikov juga terbebani oleh isi surat dari ibu dan adik perempuannya yang bilang sangat bergantung sepenuhnya pada dirinya  dan rela melakukan bahkan mengorbankan apa saja agar hidup Raskolnikov lebih baik. Sementara, saat itu posisinya sebagai mahasiswa yang putus kuliah dan terjepit masalah ekonomi, menambah tekanan mental tersendiri bagi Raskolnikov. Alyana Ivanovna adalah tokoh yang dibunuh Raskolnokov, dia adalah ibu kos yang gemar menerima jaminan barang dari mahasiswa yang tidak punya uang seperti Raskolnikov dan mahasiswa-mahasiswa yang terjepit hutang dari Ivanovna tak akan bisa lagi berkutik, seluruh perekonomiannya berantakan dan hutangnya banyak. Raskolnikov sendiri menunggak pembayaran uang kos selama 4 bulan dan telah menjaminkan barang berharga yang ia miliki. Dampak kemiskinan, keputusasaan, kejengkelan akan kemelaratan dan kegagalan hidupnya tampak terlihat pada kondisi kejiwaannya saat itu.

Karya ini benar-benar cocok untuk pembaca yang menyukai genre psikologi dan detektif. Saat membaca novel ini kita seakan-akan digiring untuk ikut merasakan pergulatan batin Raskolnikov sebelum dan sesudah pembunuhan yang ia rancang untuk Alyona Ivanovna. Hingga akhir novel Raskolnikov tak pernah merasa menyesali kejahatannya karena percaya bahwa apa yang ia lakukan akan membawa kebaikan untuk orang banyak meskipun ia harus menumpahkan darah seseorang. 

Dalam pikiran Raskolnikov manusia dibagi menjadi 2 kategori yaitu orang inferior (orang biasa yang tugasnya cuma untuk mereproduksi makhluk sejenis) dan orang besar yang dianugerahi kemampuan untuk mengabarkan sabda-sabda baru. Orang inferior menurutnya layak untuk dikendalikan, sementara orang yang kedua adalah orang yang berada di atas hukum. Menurutnya jika untuk mewujudkan cita-cita itu harus memaksanya untuk mengarungi lautan darah, maka ia berhak untuk melakukannya. Diposisi ini Raskolnikov membayangkan bahwa dirinya bisa saja merupakan orang besar yang demi kepentingan umat manusia, untuk melenyapkan penghalang dengan cara merampok atau membunuhnya.

Sangat mengerikan membaca pemikian Rodya yang seperti ini makanya Razumini langsung memotongnya dengan mengatakan “Kamu serius, Rodya? Itu artinya kamu menyetujui pertumpahan darah yang dilakukan atas nama suatu keyakinan, suatu fanatisme. Sangat menakutkan pertumpahan darah semacam itu …. Lebih mengerikan ketimbang pembantaian yang dilakukan secara legal dan diakui undang-undang …. ” 

Setelah kejadian pembunuhan itu berhasil Raskolnikov lakukan, ia jadi sering terlihat seperti orang gila. Dia mendatangi lagi flat wanita tua, menanyakan tentang darah yang tergenang, dan membunyikan bel berulang kali. Disini tampak sangat terlihat dampak psikologis seseorang yang melakukan kejahatan.

“Ia melangkah ke luar, tubuhnya gemetar karena histeris; sepertinya ada semacam kegairahan yang meledak-ledak di hatinya. Keletihannya meningkat. Kejutan sekecil apapun bisa langsung merangsang energinya, namun kekuatannya melemah sesaat setelah rangsangan itu berlalu.” (130) 

Kita dapat menemukan motif dibalik pembunuhan yang dilakukan Rodya (200-205) setelah Porfiry (detektif polisi) memancingnya dengan berbagai pertanyaan tentang sikapnya pada kejahatan. Selanjutnya kita akan bertemu dengan pengakuan langsung Raskolnikov, bahwa seorang penjahat seidealis apa pun dia atas keyakinannya akhirnya akan menderita karena kesalahannya.

“…. meskipun dia punya keyakinan, dia akan tetap menderita karena kesalahannya. Itulah hukumannya; dan itu sama buruknya seperti penjara.” (206)

 

Novel ini juga mengajarkan tentang pandangan Sonia soerang pelacur muda tentang bunuh diri bagi dirinya. Sonia adalah gadis muda 20 tahun yang terpaksa menjual diri agar ibu tiri dan ketiga adiknya tidak mati kelaparan, sementara bapaknya adalah orang yang gemar mabuk-mabukan sehingga ia merasa harus bertanggung jawab atas kehidupan mereka. Tokoh-tokoh inti dalam novel ini memang banyak berada di posisi yang sulit. Sehingga, tekanan lingkungan dan kondisi psikis yang tidak stabil yang melatar belakangi tindak kejahatan dan bunuh diri dihadirkan secara nyata dihadapan kita dan kita akan merasa tidak punya kuasa untuk mencegah kengerian-kengerian yang akan terjadi selanjutnya.

“….. kamu memang banyak melakukan dosa, dan dosamu yang terbesar adalah menghancurkan dan mengkhianati dirimu sendiri tanpa mendapatkan apa-apa. Bukankah itu menakutkan? Kamu hidup di tengah sampah yang membuatmu jijik, namun pada saat yang sama kamu menyadari bahwa tanpanya kamu tak bisa berbuat apa-apa. … ” kalimat paradox yang dilontarkan Raskolnikov pada Sonia atas kondisi hidupnya dan mempertanyakan lagi kenapa ia harus hidup. 

Tokoh Sonia inilah yang nantinya mengantarkan Raskolnikov memahami apa arti hidup dan tanggung jawab. Bahwa cintanya lah yang berhasil mengantarkan Raskolnikov pada pencerahan. Jiwanya yang mati dan dingin tanpa sentuhan cinta menjadi berubah. Sonia merengkuh sisi kelam dan paling gelap Raskolnikov dan mengantarnya menuju cahaya.  Raskolnikov menyerahkan diri kepada polisi tanpa pernah mencoba untuk membela diri dan bahkan malah membesar-besarkan kesalahannya sendiri. Hal itulah yang menjadikan hakim melihat ada yang tidak beres dengan kondisi jiwanya ketika melakukan kejahatan, akhirnya ia divonis 8 tahun kerja paksa di penjara kelas dua Siberia.

Jika kau mau membaca perjalanan hidup Dostoyevksy maka kau akan bisa melihat bahwa Raskolnikov memiliki sebagian besar pengalaman Dostoyevsky sendiri. Sangat menarik dan benar-benar bagus novel ini. Ada satu kutipan dialog batin Raskolnikov tentang hidup yang membuatku sangat mengerti arti hidup dan ini juga dikatakan oleh Dostoyevski ketika akan dipenjara di Siberia sementara temannya yang lain telah di vonis mati dihadapannya sendiri, seperti ini kutipannya:

“Dimana pernah kubaca tentang seseorang yang divonis mati yang berkata atau berpikir, satu jam sebelum kematiannya, bahwa jika ia hidup di atas batu karang yang terjal, di atas pijakan sempit yang cuma muat untuk berdiri, atau di tengah lautan yang dikelilingi kegelapan dan kesunyian abadi, jika ia harus hidup di tempat sempit itu sepanjang hidupnya, maka hidup yang semacam itu jauh lebih baik dibanding mati! Cuma untuk hidup, untuk hidup, untuk hidup! Dia benar! Benar!”


Novel ini memang layak untuk dibaca. Percayalah, kalian tidak akan menyesal menghabiskan waktu untuk menikmati setiap alur cerita dalam novel ini.

Label: , ,

Jumat, 24 April 2020

Perkenalanku dengan Goethe


Puisi Goethe "Ginkgo Biloba"

Suatu pagi aku ingin terbangun dengan menyadari bahwa ada serumpun bunga Hortensia mekar di dekat jendela kamarku. Kemudian aku menciuminya. Menelusuri jejak-jejak hujan semalam di atas kelopak bunganya yang ranum. Biru keunguan atau biru kehijauan atau bisa juga biru seluruhnya. Kemudian di seberang jalan sana ada pohon maple yang mulai menguning daunnya. Ini hampir musim gugur, akhir musim semi atau panas? Aku belum tahu. Nanti akan kucari tahu dulu musim apa ini. Hai, kau masih mendengarkanku bukan? Ah, lupakan kau tidak benar-benar mendengarkan.

Secangkir kopi pagi ini terasa berbeda. Kau juga berbeda. Ada apa denganmu? Tunggu sebentar aku akan mengambilkan secangkir kopi juga untukmu. Kau tak keberatan menunggu bukan? Baiklah aku akan segera kembali. Sambil menunggu, kau boleh membaca dulu bukumu. 

Hei apa itu? Itu Goethe, bukan? Sungguh kisah yang miris. Konon katanya mengisahkan pengalaman Goethe sendiri. Tentu saja dia tidak memutuskan bunuh diri. Tapi malangnya, pada zaman itu pemuda yang merasa hidupnya tidak lebih baik dari Werther menjadikan bunuh diri sebagai tren yang dikenal sebagai Werther effect

Sejarah mencatat sekitar 2000 pemuda Eropa melakukan copycat suicide, karena ingin meniru cara bunuh diri Werther. Copycat suicide istilah untuk menyebut perilaku bunuh diri dengan meniru orang lain, biasanya orang yang ditiru adalah orang terkenal seperti Werther dalam novel Goethe. Iya, Werther adalah tokoh fiktif dalam novel The Sorrow of Young Werther yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Penderitaan Pemuda Werther.

Aku baru membaca novel itu bulan lalu. Astaga. Kemana saja aku selama ini. Ah, biarkan saja, bagiku tak ada kata terlambat untuk membaca. 

Kau lihat puisi yang kutempel diatas sana? Iya, itu puisi Goethe untuk kekasihnya yang tidak sampai. Karena gadis yang dicintainya itu telah memiliki suami. Hampir mirip dengan pemuda Werther yang tidak bisa mencintai gadis impiannya. Puisi ini juga bernada putus asa. Jika Werther memutuskan untuk membunuh dirinya sendiri dengan pistol maka puisi Ginkgo ini, Goethe seakan-akan mengajukan sebuah pertanyaan akan kepastian perasaannya. Padahal kau tahu sendiri kan kalau tidak ada yang pasti di dunia ini apalagi jika kau mencintai orang yang sudah bersuami/beristri. 

Kau ingin tau kenapa pagi ini aku menceramahimu tentang Goethe? Ini semua karena daun ginkgomu. 
Aku sangat setuju bahwa hidup memang penuh keterkaitan yang mengantarakan sebuah pertemuan pada pertemuan-pertemuan lain. Masih aku ingat betul daun ginkgo kecil yang kau berikan padaku siang itu. Jujur saja, aku senang bukan main. Daun asli yang kau bawa dari Jepang, yang menurut kepecayaan mereka simbol keabadian. Kau masih ingat bukan? 

Selang beberapa bulan aku menemukan fakta bahwa Goethe sendiri juga menggunakan daun kecil ini dalam puisinya semakin membuatku tertarik padanya. Perjalananku berlanjut, karya sastra Goethe kutelusuri. Sastra, drama, bahkan filsafat aku coba pahami. Yang lebih mengejutkan lagi adalah kenyataan bahwa Goethe juga seorang ahli ilmu alam. Penemu sekaliber Charles Darwin saja terinspirasi oleh karya-karya Goethe. 

Kau tau, sayang? Hidup kita penuh kejutan. Saat kau merasa masalah datang menghantam dan kau tidak tahu jalan keluar, jangan menyerah. Teruslah berusaha, jangan menutup diri terlalu lama. Bertemanlah dengan orang-orang baru. Mereka akan mengajarimu banyak hal. Tentang penerimaan, tentang keyakinan, dan tentang cinta. 

Jika pemuda Werther memutuskan untuk bunuh diri, karena cintanya tak sampai maka kau hanya perlu membacanya saja. Menikmati ceritanya sebagaimana takdirnya sebagai tokoh fiksi, tak perlulah meniru dengan ikut tenggelam dalam penderitaannya. Perlu kau catat, kau bukan putri duyung yang hanya bisa mencintai satu orang dan kau akan mati jika orang itu tak mencintaimu lagi. Jadi berhentilah bersedih.

Rasa-rasanya tepat jika Goethe di masa-masa akhir hidupnya menulis otobiografi yang diberi judul Dichtung und Wahrheit (Fiksi dan Kebenaran), dimana kita bisa belajar untuk menempatkan segala sesuatu sebagaimana adanya. Jika kau merasa hidupmu seperti sebuah cerita fiksi yang penuh dengan topeng drama, kau boleh menikmatinya diiringi canda tawa, tanpa perlu memaksa diri hanyut dalam air mata. Ah, iya benar, aku akan mengambilkan kopimu. Maafkan aku.   


Label: