Senin, 08 Juni 2020

Memori yang Tak Mau Dilupakan


Apakah kamu sering melihat foto-foto lama?
Iya, aku juga. Namun, aku bukanlah orang yang senang berlama-lama memandang foto. Karena kadang foto-foto itu punya daya magis untuk menyedotmu kembali pada momen yang terperangkap di dalamnya. Setiap kegelisahan, kebahagiaan, dan perasaan yang tak terkatakan dapat kembali bangkit lewat selembar foto.  Itulah kenapa foto abad ke-18 atau 19 terkadang terlihat lebih sakral dari ritual-ritual agama yang dilakukan serampangan saat pagi buta. Namun, parahnya seringkali pikiranku akan kembali sesak dengan kemelut suasana tak menentu setelah melihat foto-foto itu. Memandang foto membutuhkan tenaga yang tidak sedikit. Apa mungkin hanya aku saja ya, yang terlalu jauh mengartikan sebuah foto?

Semua foto akan bercerita sesuai tahun-tahun. Ada tahun tenang, berisi hari bahagia sejernih air. Ada tahun beriak, berisi sedikit hari bahagia dan sedikit hari kecemasan. Ada tahun kelabu, berisi banyak hari ketakutan dan ketidakpastian. Satu hal yang pasti dalam sebuah foto adalah bahwa mereka hanya akan sering menangkap hari bahagia tanpa ingin tahu ada banyak jam-jam sedih yang telah menyusun diri. Mereka terlihat mengenakan topeng.

Dulu sekali, manusia tak begitu tahu apa yang akan dilaluinya setelah lahir ke dunia. Hingga, ia menyadari orang-orang yang ia kenali terlihat bahagia dari foto-foto rapi dalam sebuah album. Perjalanan hidup menjadi sungguh menyenangkan untuk diingat dan mereka ingin selalu bahagia tanpa perlu memikirkan rasa sedih. Padahal tidak selalu demikian dan album-album tidak selalu benar mendefinisikan kebahagiaan.

Manusia awal usia 20 tahun sepertiku, misalnya. Akan banyak berpikir tentang eksistensi diri, identitas, dan masa depan. Pertanyaan-pertanyaan kecil yang sering aku tanyakan sendiri, misalnya tentang: "Apakah bayi-bayi menangis karena bahagia?" akan mulai muncul ke permukaan lebih sering dari gairahmu untuk menghafal jejak evolusi manusia. Jujur saja, dimasa-masa pandemi ini, banyak orang yang mulai gemar berfilsafat tanpa mereka sadari. Mungkin aku salah satunya. Sungguh tidak dapat lagi kupercaya kenyataan ini tapi benar adanya bahwa terperangkap dalam pencarian eksistensi diri adalah hal yang tak pernah kuduga akan kualami.

Untuk pertanyaan tadi izinkan aku sedikit mendongeng. Bahwa konon ketika bayi lahir dukun beranak akan sibuk mencubit sang bayi jika dia tidak segera menangis. Lantas setelah bayi berhasil menangis karena dicubit berulang-ulang maka orang-orang akan bahagia dan bayi terus saja menangis. Kenapa bisa begitu? Harusnya bayi akan ikut tertawa bersama bukan? Nyatanya tidak. Terlepas dari fakta bahwa seorang bayi mustahil untuk tertawa, manusia memang pada dasarnya tidak terlalu gemar tertawa. Hingga suatu saat ia berhasil menemukan alasannya untuk tertawa dan bahagia. Untuk yang satu ini, tidak semuannya karena telah menemukan pasangan hidup. Karena percaya atau tidak, bahagia itu tersebar dimana-mana, tinggal kita mau menyadarinya atau tidak.

Pernahkah kalian melihat foto penduduk pribumi dalam album sejarah? Apakah mereka tertawa atau tersenyum? Tidak. Bahkan para pahlawan pun tidak ada yang terseyum malah lebih terkesan garang. Kira-kira kenapa? Apakah mode? Apakah standar foto pada masa itu memang demikian? Bisa jadi. Tapi aku lebih suka alasan bahwa naluri manusia untuk bersikap biasa saja dalam keadaan apapun adalah basic untuk bertahan hidup. Seseorang yang punya kendali pada diri sendiri akan lebih terjamin kewarasannya dibanding orang yang ingin terlihat baik di mata orang. Contohnya, coba lihat orang yang gemar mencari popularitas dan perhatian, mereka akan berusaha sekuat tenaga menyenangkan hati orang lain. Tidak peduli apakah dengan itu ia harus mengenakan topeng yang sangat tebal, hingga lama kelamaan ia akan lupa tentang siapa dirinya yang sebenarnya. Bagi mereka asal orang lain bahagia mereka bahagia. Nah, ini, cukup bahkan sangat bahaya.

Hari ini aku memutuskan untuk mengemas foto-foto yang berserakan dalam satu folder khusus dan menghapus sisanya. Berharap agar foto-foto itu mau menjelma menjadi foto yang baik dan tidak hobi mencari perkara. Foto baik menurutku adalah foto yang tidak menuntut. Tapi lagi-lagi kenyataan bahwa manusia memang hobi menggunakan topeng tidak akan pernah bisa disembuyikan dengan alasan apapun. Seperti foto-fotoku sendiri, mereka terlihat bukan seperti aku tetapi diriku yang lain. Sementara, kejadian-kejadian dibalik foto itu adalah hal yang nyata di mataku. Aku menghabiskan setengah hari hanya untuk mengingat kejadian lama dan aku puas dengan sensasi yang diberikan oleh foto itu. Kadang membahagiakan, kadang penuh peluh dan air mata, kadang membuatmu tertawa, namun yang paling penting adalah mereka  membuatmu terdiam sejenak untuk menyukuri bahwa sekarang kau tidak lagi hidup di masa itu dan berhasil hidup bahagia hari ini.


0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda