Sabtu, 30 Oktober 2021

Sudah terlambat untuk berhenti

Aku punya kesenangan unik yang sebenarnya membuat uang di kantong cepat terkuras. Kesenanganku terhadap seni membuatku sangat terobsesi dengan peralatan lukis. Salah satunya ini, yup masking fluid dari Winsor and Newton (gambar sebelah kiri) yang kubeli di online shop seharga Rp 132.000, Gelly Roll 05 Sakura White pen (gambar tengah) harganya Rp 13.000, dan Drawing paper Artemedia A5 harganya Rp 16.000.


Sebenarnya semua alat itu sudah kubeli sejak bulan September kemarin, tapi entah kenapa belum berani kuaplikasikan untuk melukis di atas kertas cat air dengan serius, ya baru hanya sekedar testing di kertas watercolour bekas untuk yang masking fluid. Nah, buat yang penasaran gimana rasanya buat sketsa diatas kertas sketchbook Artemedia, ini aku udah bikin beberapa hasilnya. 


Ini salah satu gambar yang aku buat pake kertas sketchbook artemedia dengan cat air. Jadi menurutku kertas ini bagus banget, aku udah nyobain banyak kertas sketchbook dan menurutku kertas Artemedia ngga ngecewain. Ketebalan kertasnya 150 gsm, yang memang diperuntukkan buat bikin sketsa pake pensil atau charcoal, jadi emang ngga cocok kalau dipake buat cat air. Kalau dipaksain buat gambar pake cat air, kertasnya bakal menggelembung tapi nanti ketika sudah kering ya bisa balik lagi. Kalau memang suka pake cat air lebih baik beli sketchbook yang khusus buat cat air yang ketebalan kertasnya 200 gsm atau lebih.

Kelebihan lain dari sketchbook Artemedia ini tuh dia punya spiral yang bikin kertasnya bisa dibalik 360°. Jadi bikin nyaman kalau pas pengin bikin sketsa yang cepet dan ngga takut kertasnya bakal lepas dari skechbooknya.

Oh, iya, buat white pen sakuranya, setelah diaplikasikan ke atas cat air, warnanya ngga terlalu kelihatan. Sebenarnya warna putih itu bisa dipakai buat memberi efek cahaya. Kenapa kok digambarku itu warna putihnya keliatan, jadi aku memakai pensil charcoal putih Bomeijia atau kalau kalian mau bisa juga pakai pensil warna putih.

Nah, akhirnya setelah aku memulai dengan membeli banyak peralatan melukis rasanya sayang sekali jika aku berhenti melukis. Namanya manusia tentu sering banget dilanda kemalasan. Saat inget betapa banyaknya alat yang sudah kubeli dan kucoba untuk memenuhi rasa penasaranku akan jadi sangat terlambat bagiku untuk berhenti. Toh sekalipun aku berusaha berhenti, kegemaranku tak pernah ikut menghilang. Dan kalau boleh kukatakan seni lukislah yang menyelamatkanku berulang kali terutama saat aku merasa benar-benar tak punya harapan apapun. Hanya dengan melihat kembali sketsa lamaku, mereka seperti berbicara padaku bahwa setiap manusia punya bakat, dan sekalipun ada orang yang merasa tak punya bakat, seni bisa dipelajari dengan terus diasah setiap hari.

Itu yang terus membuatku percaya bahwa aku akan terus mencorat-coret kertas karena dia adalah bagian dari diriku. 

Label: ,

Rabu, 10 Juni 2020

When Life Gives You Lemons



Facebook.ac.id (Dani Till art)

Sebuah lukisan dari cat air karya anggota Watercolor Beginner and Antusiasm, Dani Till. 

Sarkastik yang memukau tentang ekspresi manusia ketika dihadapkan pada sebuah permainan hidup yang seringkali tidak manis sama sekali. 

Hidup memang gemar mempermainkan hati manusia. Kadang membuatnya membumbung tinggi ke langit sementara di lain waktu jauh jatuh terjerembab di dasar bumi. Dan diantara dua pasak perasaan manusia itu, ada berjuta-juta perasaan yang dapat tertangkap lewat raut wajah. Salah satunya raut wajah ketika makan buah lemon. Jika kau berhasil menangkap momen singkat itu akan terlihat sangat lucu dan sayang untuk dilupakan. 

Seasam apapun buah lemon semua orang pasti pernah memakannya ada yang menerima sesasi itu apa adanya sambil meringis puas namun ada yang menerimanya dengan beberapa persyaratan untuk disamarkan dengan gula-gula. Lemon juga dapat disimbolkan sebagai rasa sakit hati seperti luka menganga disiram air lemon. Meringis dan sakit bukan main rasanya. Raut wajah itulah yang ingin disampaikan oleh pelukis. 

Meringis saja bisa bermacam-macam bentuknya. Meskipin sama-sama menyebabkan 17 otot wajah tertarik keatas namun meringis sama sekali berbeda dengan tersenyum. 

Dalam beberapa kasus meringis itu, kita akan bertemu manusia yang tidak bisa mengekspresikan diri. Lagi pula siapa yang peduli dengan wajah diri ketika menjumpai keadaan diluar ekspektasi dan penuh kejutan seperti hidup yang memaksa kita menerima lemon? Atas dasar ketidakpedulian itulah seni lukis tak pernah mati. 

Lewat lukisanlah seseorang dapat berkaca dan melihat dirinya dipermainkan hidup. Menertawakan kondisi abnormal yang nyatanya sesuai dengan kenyataan tanpa perlu bicara blak-blakan. Maka sekali waktu rehatlah sejenak, berkunjunglah ke galeri seni atau paling tidak lihatlah lukisan-lukisan yang berserakan di media sosial. Karena setelah menulis, melukis dan memandang lukisan adalah upaya untuk merawat kewarasan diri.
 

Label:

Kamis, 23 April 2020

Cahaya Hopper


Lukisan "Morning Sun" (Historia.id)

Aku pertama kali berkenalan dengan Hopper lewat buku berjudul Namaku Asher Lev karya Chaim Potok. Buku yang mengisahkan perjuangan seorang anak Yahudi untuk menjadi pelukis. Sebagaimana agama Islam yang melarang umatnya untuk menggambar makhluk bernyawa dalam Agama Yahudi juga demikian. Perjalanan hidupnya menuntun Lev bertemu pelukis yang mengajarinya teknik melukis. Hopper dan beberapa pelukis lain disebut-sebut dalam buku ini. Selesai membaca buku ini aku langsung menuju mesim pintar google untuk lebih dekat dengannya. Dan aku tidak salah mengagumi Hopper karena memang keren sekali dia. Setelah Monet, sang bapak impresionisme, Hopper adalah juga masuk yang terbaik dalam revolusi seni lukis.

Edward Hopper adalah seorang pelukis yang mendedikasikan jalan seninya pada pemahaman atas cahaya. Dan aku jatuh hati pada gaya Hopper menangkap cahaya lewat sapuan kuasnya. Benar-benar cemerlang dan jenius dalam seni. 

Beberapa waktu lalu historia.id membuat artikel tentang keterkaitan antara kondisi pandemi COVID-19 yang memaksa seluruh orang untuk berdiam diri di rumah dengan lukisan Hopper. Langsung saja aku tertarik untuk mengulasnya disini. Tentu saja dengan beberapa opiniku sendiri tulisan ini kudedikasikan untuk Hopper.

Himbauan lockdown  dan isolasi diri menjadikan pergerakan manusia terbatas dan tidak diperbolehkan keluar rumah dengan tujuan untuk memutus mata rantai virus corona. Banyak kesempatan kita jumpai orang-orang hanya bisa memandang indahnya cahaya pagi dari jendela. Pertokoan lengang. Kota tidak lagi ramai, malah terkesan seperti kota mati. Kehidupan semacam itu digambarkan dengan menakjubkan oleh Hopper pada beberapa lukisannya bertahun-tahun yang lalu. Cape Cod Morning, Nighthawks, Automat, dan Morning Sun adalah beberapa karya Hopper yang menggambarkan kondisi masyarakat saat ini. Hopper mampu menangkap cahaya-cahaya indah dalam suasana yang mencekam gelapnya pertokoan, suasana menyenangkan namun tidak dapat dijangkau, suasana kesendirian yang hangat dan suasana klise lainnya. 

"We Are All Edward Hopper Paintings Now" The Guardian.

Memang tidak banyak yang bisa kita lakukan kecuali dengan terus berikhtiar berdiam diri di rumah. Memang benar pernyataan bahwa kondisi kita tidak ubahnya para tokoh dalam bingkai-bingkai lukisan Hopper. 
Dan sekarang kita baru menyadari siraman cahaya matahari pagi di pantai atau berjalan-jalan di taman sebagai anugerah kenikmatan yang mahal harganya. 






Label: ,