Rabu, 29 April 2020

Menggenggammu

Aku masih terus menyimpan pertanyaanmu sore itu dalam segelas teh hangat. Tentang apa yang paling riuh dari pikiran seorang manusia. Aku terdiam dan tidak sekalipun berniat menawarkan minuman ini untukmu. Seperti biasa kalimat itu meluncur dari mulutmu seperti sebuah kutukan. Hingga aku tak berniat membuatmu semakin tenggelam dalam kutukan yang kau yakini sendiri. Segera kugenggam tanganmu. Kutelusuri setiap lekuk jemarimu dan aku berharap kau mengetahui aku ada disini.
 
Pikiranmu itu . . . . Apakah seriuh riak gelombang di lautan? Apakah sepekat malam yang menelan senja bersama pikiranmu  yang bukan lagi untukku. Hanya satu hal kutahu pasti ada jaminan dari setiap keraguanmu, aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Kuharap kau merasakannya. Semoga.

Selasa, 28 April 2020

Remember to Life

Aku rasa itu adalah isi kehidupan. Cinta. Terlalu idealis untuk menuntut definisi pasti akan satu kata sakral ini. 
Goethe bilang "remember to life" satu kata yang sama dengan memelihara kehidupan. Lepas dari kekhawatiran akan masa depan dan ketakutan masa lalu. Dan mencintai saat ini. Sungguh aku takut, sesungguhnya untuk menulis ini. Di buku bertebaran kata orang yang mencintai. Namun, selalu luput dari perhatian. 

Jumat, 24 April 2020

Perkenalanku dengan Goethe


Puisi Goethe "Ginkgo Biloba"

Suatu pagi aku ingin terbangun dengan menyadari bahwa ada serumpun bunga Hortensia mekar di dekat jendela kamarku. Kemudian aku menciuminya. Menelusuri jejak-jejak hujan semalam di atas kelopak bunganya yang ranum. Biru keunguan atau biru kehijauan atau bisa juga biru seluruhnya. Kemudian di seberang jalan sana ada pohon maple yang mulai menguning daunnya. Ini hampir musim gugur, akhir musim semi atau panas? Aku belum tahu. Nanti akan kucari tahu dulu musim apa ini. Hai, kau masih mendengarkanku bukan? Ah, lupakan kau tidak benar-benar mendengarkan.

Secangkir kopi pagi ini terasa berbeda. Kau juga berbeda. Ada apa denganmu? Tunggu sebentar aku akan mengambilkan secangkir kopi juga untukmu. Kau tak keberatan menunggu bukan? Baiklah aku akan segera kembali. Sambil menunggu, kau boleh membaca dulu bukumu. 

Hei apa itu? Itu Goethe, bukan? Sungguh kisah yang miris. Konon katanya mengisahkan pengalaman Goethe sendiri. Tentu saja dia tidak memutuskan bunuh diri. Tapi malangnya, pada zaman itu pemuda yang merasa hidupnya tidak lebih baik dari Werther menjadikan bunuh diri sebagai tren yang dikenal sebagai Werther effect

Sejarah mencatat sekitar 2000 pemuda Eropa melakukan copycat suicide, karena ingin meniru cara bunuh diri Werther. Copycat suicide istilah untuk menyebut perilaku bunuh diri dengan meniru orang lain, biasanya orang yang ditiru adalah orang terkenal seperti Werther dalam novel Goethe. Iya, Werther adalah tokoh fiktif dalam novel The Sorrow of Young Werther yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Penderitaan Pemuda Werther.

Aku baru membaca novel itu bulan lalu. Astaga. Kemana saja aku selama ini. Ah, biarkan saja, bagiku tak ada kata terlambat untuk membaca. 

Kau lihat puisi yang kutempel diatas sana? Iya, itu puisi Goethe untuk kekasihnya yang tidak sampai. Karena gadis yang dicintainya itu telah memiliki suami. Hampir mirip dengan pemuda Werther yang tidak bisa mencintai gadis impiannya. Puisi ini juga bernada putus asa. Jika Werther memutuskan untuk membunuh dirinya sendiri dengan pistol maka puisi Ginkgo ini, Goethe seakan-akan mengajukan sebuah pertanyaan akan kepastian perasaannya. Padahal kau tahu sendiri kan kalau tidak ada yang pasti di dunia ini apalagi jika kau mencintai orang yang sudah bersuami/beristri. 

Kau ingin tau kenapa pagi ini aku menceramahimu tentang Goethe? Ini semua karena daun ginkgomu. 
Aku sangat setuju bahwa hidup memang penuh keterkaitan yang mengantarakan sebuah pertemuan pada pertemuan-pertemuan lain. Masih aku ingat betul daun ginkgo kecil yang kau berikan padaku siang itu. Jujur saja, aku senang bukan main. Daun asli yang kau bawa dari Jepang, yang menurut kepecayaan mereka simbol keabadian. Kau masih ingat bukan? 

Selang beberapa bulan aku menemukan fakta bahwa Goethe sendiri juga menggunakan daun kecil ini dalam puisinya semakin membuatku tertarik padanya. Perjalananku berlanjut, karya sastra Goethe kutelusuri. Sastra, drama, bahkan filsafat aku coba pahami. Yang lebih mengejutkan lagi adalah kenyataan bahwa Goethe juga seorang ahli ilmu alam. Penemu sekaliber Charles Darwin saja terinspirasi oleh karya-karya Goethe. 

Kau tau, sayang? Hidup kita penuh kejutan. Saat kau merasa masalah datang menghantam dan kau tidak tahu jalan keluar, jangan menyerah. Teruslah berusaha, jangan menutup diri terlalu lama. Bertemanlah dengan orang-orang baru. Mereka akan mengajarimu banyak hal. Tentang penerimaan, tentang keyakinan, dan tentang cinta. 

Jika pemuda Werther memutuskan untuk bunuh diri, karena cintanya tak sampai maka kau hanya perlu membacanya saja. Menikmati ceritanya sebagaimana takdirnya sebagai tokoh fiksi, tak perlulah meniru dengan ikut tenggelam dalam penderitaannya. Perlu kau catat, kau bukan putri duyung yang hanya bisa mencintai satu orang dan kau akan mati jika orang itu tak mencintaimu lagi. Jadi berhentilah bersedih.

Rasa-rasanya tepat jika Goethe di masa-masa akhir hidupnya menulis otobiografi yang diberi judul Dichtung und Wahrheit (Fiksi dan Kebenaran), dimana kita bisa belajar untuk menempatkan segala sesuatu sebagaimana adanya. Jika kau merasa hidupmu seperti sebuah cerita fiksi yang penuh dengan topeng drama, kau boleh menikmatinya diiringi canda tawa, tanpa perlu memaksa diri hanyut dalam air mata. Ah, iya benar, aku akan mengambilkan kopimu. Maafkan aku.   


Label:

Kamis, 23 April 2020

Cahaya Hopper


Lukisan "Morning Sun" (Historia.id)

Aku pertama kali berkenalan dengan Hopper lewat buku berjudul Namaku Asher Lev karya Chaim Potok. Buku yang mengisahkan perjuangan seorang anak Yahudi untuk menjadi pelukis. Sebagaimana agama Islam yang melarang umatnya untuk menggambar makhluk bernyawa dalam Agama Yahudi juga demikian. Perjalanan hidupnya menuntun Lev bertemu pelukis yang mengajarinya teknik melukis. Hopper dan beberapa pelukis lain disebut-sebut dalam buku ini. Selesai membaca buku ini aku langsung menuju mesim pintar google untuk lebih dekat dengannya. Dan aku tidak salah mengagumi Hopper karena memang keren sekali dia. Setelah Monet, sang bapak impresionisme, Hopper adalah juga masuk yang terbaik dalam revolusi seni lukis.

Edward Hopper adalah seorang pelukis yang mendedikasikan jalan seninya pada pemahaman atas cahaya. Dan aku jatuh hati pada gaya Hopper menangkap cahaya lewat sapuan kuasnya. Benar-benar cemerlang dan jenius dalam seni. 

Beberapa waktu lalu historia.id membuat artikel tentang keterkaitan antara kondisi pandemi COVID-19 yang memaksa seluruh orang untuk berdiam diri di rumah dengan lukisan Hopper. Langsung saja aku tertarik untuk mengulasnya disini. Tentu saja dengan beberapa opiniku sendiri tulisan ini kudedikasikan untuk Hopper.

Himbauan lockdown  dan isolasi diri menjadikan pergerakan manusia terbatas dan tidak diperbolehkan keluar rumah dengan tujuan untuk memutus mata rantai virus corona. Banyak kesempatan kita jumpai orang-orang hanya bisa memandang indahnya cahaya pagi dari jendela. Pertokoan lengang. Kota tidak lagi ramai, malah terkesan seperti kota mati. Kehidupan semacam itu digambarkan dengan menakjubkan oleh Hopper pada beberapa lukisannya bertahun-tahun yang lalu. Cape Cod Morning, Nighthawks, Automat, dan Morning Sun adalah beberapa karya Hopper yang menggambarkan kondisi masyarakat saat ini. Hopper mampu menangkap cahaya-cahaya indah dalam suasana yang mencekam gelapnya pertokoan, suasana menyenangkan namun tidak dapat dijangkau, suasana kesendirian yang hangat dan suasana klise lainnya. 

"We Are All Edward Hopper Paintings Now" The Guardian.

Memang tidak banyak yang bisa kita lakukan kecuali dengan terus berikhtiar berdiam diri di rumah. Memang benar pernyataan bahwa kondisi kita tidak ubahnya para tokoh dalam bingkai-bingkai lukisan Hopper. 
Dan sekarang kita baru menyadari siraman cahaya matahari pagi di pantai atau berjalan-jalan di taman sebagai anugerah kenikmatan yang mahal harganya. 






Label: ,

Rabu, 22 April 2020

The part of growing up

Bukan hal mudah mengajari lagi diriku hal-hal kecil seperti tidak menunda pekerjaan dan bersabar. Seketika pemikiran bahwa kebiasaanku yang sering menunda-nunda pekerjaan jika kulihat lagi tak lebih dari upaya untuk menghindar. Otakku merasa sangat malas melakukannya jadi tindakan yang tercipta adalah menunda. Dan menunda tidak menghasilkan apapun kecuali rasa tanggung jawab yang kian menumpuk.

Aku sangat setuju dengan kata-kata Umar bin Khattab yang tertulis dalma suratnya kepada Abu Musa al-Asy'ari ketika beliau sedang di Bashrah.

"Janganlah anda menunda pekerjaan hari ini pada esok hari, karena pekerjaan anda akan menjafi menumpuk sehingga (tidak sanggup anda kerjakan) dan akan hilang semuanya.

Semakin umurku bertambah, semakin aku sadar bahwa prinsip hidupku selama ini "Ah, kukerjakan besok saja" ketika mengerjakan tugas ataupun ingin memulai apapun. Bahkan buruknya lagi aku sering mengerjakan sesuatu beberapa jam sebelum tenggat waktu. Hal itu ternyata hanya semakin membuatku merasa terbebani, karena dengan bergulirnya waktu, satu hari berakhir dan masih terus kutunda cita-citaku dengan mengalihkan ke hal-hal lain yang lebih mudah dilakukan seperti scrolling medsos orang.  Dan yang aku dapatkan hanya semakin merasa insecure melihat keberhasilan orang lain di usia mudanya.

Menunda tak memberikan keajaiban bahwa besok kamu akan menjadi artist profesional atau apapun yang kau impikan. Menunda adalah memperbanyak angka usiamu, namun tak mendekatkanmu pada yang kau cita-citakan. 

Aku suka dengan prinsip baruku "Lakukan saja!" Nyalkan lampu, duduk di depan meja, buka kertas, dan ambil pensil. Itu hal yang harus kulakukan, tak peduli jika ideku tak ada. Jika mulai dilanda kecemasan katakan "Kau tidak harus terlihat sempurna, tak masalah membuat kesalahan, dunia tak akan menghukummu jika gambarmu tak bagus". 

Memang perlu banyak kesabaran untuk mengajariku hal-hal kecil seperti ini. Karena nyatanya hidup dengan pikiran negatif yang terus mencoba mengurungmu cukup merepotkan. 

Harimu kemarin trlah berlalu sebagai saksi bagimu, kemudian datang hari baru untukmu. Hari ini adalah harimu, manfaatnya untukmu, sedang hari kemarin tidak akan kembali lagi. Jika hari kemarin kau telah melakukan kesalahan, maka segera perbaiki kesalahan itu. 

Lakukan saja, apa yang ingin kau lakukan.

Kadang aku merasa benar-benar seperti ank kecil yang tidak bisa bersabar. Apakah masuk akal jika yang kuinginkan adalah sekali memegang kertas cat air aku bisa langsung menjadi artist profesional. Bahkan seorang seniman profesional sekalipun pernah membuat kesalahan. Padahal mereka yang kusebut keren itu butuh waktu bertahun-tahun untuk menjadi profesional. Mereka mendedikasikan waktu untuk seni. Bukankah sebenarnya sabar itu bisa dipelajari?


Kenapa kadang aku sering bersikap tak sabaran, dan begitu cerobohnya berkeras diri memaksa untuk menjadi lebih dari yang seharusnya. Kebiasaan tak menghargai proses adalah hal buruk untuk dilakukan. 

Seperti nama blogku mengakart, artinya aku menyadari ada hal-hal yang telah tertanam jauh diluar kesadaranku. Bisa hal haik atau buruk. Mereka menjadi bagian diriku untuk waktu yang lama. Maka untuk mengubah kebiasaan buruk yang telah terulang 10.000 kali tentu menjadi hal yang sulit juga membutuhkan usaha ekstra keras. Namun dengan menyadarinya, setidaknya aku telah memahami hal dasar untuk diubah.

Mengutip talk show Daniel Goleman seorang Psikolog:

" I have a good news and bad news if the brain becomes anatomically mature in the mid-20s but that doesn't mean it's too late. However, habits that instantiated in the brain in childhood are very strong, so if you ends up say addicted or overly anxious or whatever it may be it's still possible to change but you need to make an  added effort. And the reason is that you have to practice the new healthy better behavior over and over because you've practiced the bad way 10.000 times. You know you've done it over and over in the circuitry is so strong.

That's what it feels like to change a habit it's a little weird at first. Little that's strange but if you make the effort and keep making the effort at  every naturally occurring opportunity what happens is the neural connectivity for the new pathway gets stronger and stronger until at some point you pass a developmental landmark a neural landmark. Where you do the new habit you perform the new habit effortlessly without thinking about it becomes automatic. And what that means is that the connectivity for the new habit has now become stronger than the old one it's the brain. Now the brain's default choice but takes work takes more work."