Minggu, 31 Mei 2020

Apapun itu

Sayang, kurasa tidak ada bedanya laut dan langit yang tumpah di dadamu, kekasih.

Pernah suatu pagi, aku mengunjungi langit.
Terdengar menggelegar, pekat dan tidak tersenyum.
Lalu aku menutup jendela dan pintu-pintu.
Kulihat di ujung meja dengan kertas yang masih meneteskan gelap mendung di dadamu.
Kau pergi, sebelum sempat aku tanyakan kenapa.
Sungguh, bukan hal mudah menerbitkan matahari dari balik awan gelap.
Di dadaku tak henti-hentinya kurajut doa-doa.
Agar doa itu mampu berlari menembus badai dan sajak ini dapat membersamaimu dalam hujan.
Doaku selalu berharap mampu memelukmu serupa laut.
Sementara, langit menjadi lengan-lengan yang menggenggam tanganmu saat aku tak disimu.

n.b:
sajak lepas dari lagu Ai ni Dekiru koto wa Mada Arukai (Is There Still Anything That Love Can Do?)- RADWAMPS

Label:

Selasa, 26 Mei 2020

Menanam ingatan

Kau ingat, dulu, hobimu menanam apa pun yang kau temukan
Rumput liar serupa pohon kelapa, meniran berbiji serupa apel 
Atau apapun yang pasti akan mati jika itu bukan rumput 
Kau terus saja bersikukuh bahwa yang kau lakukan adalah pekerjaan paling mulia
Aku tak perlu mendebatmu, 
kuaminkan semua ucapanmu
Selain hanya ingin terus menemanimu menggali tanah hingga ke lubuk hati dengan bunga-bunga
dan memperpanjang ingatanku tentangmu 

Mungkin usiaku 11 atau 12 waktu itu
Tidak terlalu muda untuk mengerti bagaimana dunia bekerja
Bahwa seringkali tanpa harapan apapun manusia akan mudah bahagia
Lebih mudah daripada berharap menjadi dewasa  namun merindukan kembali jadi anak 11 tahun

Lalu sekarang, manusia seperti menjadi budak atas waktu, 
Mimpi-mimpi yang terkadang  gemar menipu
Atau senyummu yang sering  terlihat palsu
Sudahlah, baca saja kisah dari  novel-novel itu
Bagaimana sastrawan itu mengungkapan manusia dengan ketelanjangan 
Dan kebodohannya terus berusaha menjadi Tuhan atas dirinya sendiri.
Lalu sebenarnya apalah Kita ini?

Selain makhluk-makluk yang gemar memupuk harapan 
juga mudah dipatahkan keadaan
Beruntunglah orang-orang yang mengenal sastra, mereka hanya perlu membaca sedikit untuk mengetahui banyak hal
Hanya perlu membaca untuk merasakan tragedi tanpa ikut terluka 
Hanya perlu hanyut dalam cerita tanpa perlu merasakan sesaknya himpitan batin yang dikecewakan takdir

Ah, kadang kita  harus  bertingkah seolah-olah bisa menanam ingatan
Bahwa hidupmu lebih bahagia dibandingkan tokoh dalam novel itu, 
hanya agar bisa menertawakan keadaan
Karena tragedimu tak lebih  miris dibandingkan yang mereka  rasakan
Setidaknya ini adalah pekerjaan paling mulia untuk merawat kewarasan, bukankah begitu nun?

Padahal kau tau tidak ada yang benar-benar menderita kecuali  kau menganggapnya sebagai penderitaan
Percayalah,  Kita akan menyesal jika terlalu mengasihani diri sendiri
Lebih baik, buka novelmu, dan  sembunyilah diantara  tokoh-tokoh itu.

Di ingatan panjangnya

Aku menguping ingatan panjang sepasang kekasih di sudut taman itu, secuil percakapan berhasil aku curi darinya. Mungkin aku berdosa sekarang, tapi yakinlah aku mencurinya untukmu, agar kelak dapat kusampaikan kebenaran yang selalu kita perselisihkan. Kau mau baca? Kira-kira seperti ini, salah satu dari mereka berkata:

"Aku menulis tentang mimpiku di langit-langit kamar agar saban aku terbangun aku mengingatnya sebagai pekerjaan rumah yang harus kutuntaskan, aku menulis mimpiku di jalan-jalan kota agar setiap pijakku selalu berjalan diatasnya, aku menulis mimpiku di tanah milik rakyat agar setiap yang dimakamkan didalamnya akan tumbuh menjadi peringatan dini atas bahaya waktu yang mengejar-ngejar usiaku sebelum aku mampu mewujudkannya.
Aku tak pernah hidup dalam impian, aku hanya kehilangan pintu membuka kenyataan."

Minggu, 24 Mei 2020

Tentang Luka

Seringkali dalam sebuah hubungan yang telah usai, orang-orang masih memikirkan kemungkinan-kemungkinan. Seperti bagaimana seandainya jika dia tidak terlalu bodoh untuk pergi dari sebuah hubungan, yang sudah jelas dia lakukan atas banyak pertimbangan. Padahal konsekuensinya, orang yang meninggalkan akan menanggung luka. Sementara, orang yang ditinggalkan juga akan berantakan dan bahkan lebih terluka dari yang kita rasakan. 

Setelah, tahu rangkaian konsekuensi itu bukan tidak mungkin keduanya merasa seperti tak ada lagi kemungkinan berhubungan dengan orang lain setelah hubungan dengannya usai. 

Mengakui bahwa diri sendirilah yang menyakiti orang lain dan menerima luka itu berkali-kali lipat adalah kenyataan yang tidak harus lagi dikelabui dengan berpura-pura baik-baik saja. 

Apalagi mengatakan "Aku bahagia, asal dia bahagia" tidak akan mengubah apapun. Kalimat klise macam itu hanya omong kosong. Kenyataan kau terluka dan dia terluka adalah fakta. Orang-orang yang terus terjebak dalam kalimat itu, hanya akan tenggelam dalam derita ingatan berkepanjangan, sebab kau mencoba sehat sebelum waktunya.

Dia akan menemukan lagi bahagianya sendiri tanpa kau minta. Dengan atau tanpa persetujuan darimu dia akan menemukan jalan bahagianya sendiri, jika jalan kalian telah ditakdirkan berpisah maka jangan berusaha menyatukan kebahagiaan kalian dengan berpura-pura bahagia. Jujur saja pada diri sendiri bahwa kita terluka, bukan untuk memintanya kembali, namun mempersiapkan diri mengobati luka sendiri adalah sikap yang paling logis untuk dilakukan.

Maka sudah semestinya kita harus bahagia dan salah satu kunci untuk dapat membuka jendela kebahagiaan adalah jujur pada diri sendiri, tanpa menuntut diri harus bahagia melihatnya bahagia. 

Salam,. 


Rabu, 20 Mei 2020

Inner Child




“Di dunia ini ada tiga urusan; urusan Tuhan, urusan orang lain, dan urusan Anda sendiri” kata Ellen Kristie.



Semalam, dia berkisah padaku, wajahnya sayu dia seperti sudah mau menyerah. Ada dirinya yang lain yang tidak ia mengerti. Katanya ada penguasa lain yang seringkali mengambil alih kendali berpikirnya. Kadang kala dia merasa mudah tersinggung, marah, dan menangis sendiri tanpa tau apa alasannya. Pengalaman pahit masa lalu sering muncul di depan mata tanpa membiarkan dia berfikir apakah ia hidup di masa sekarang atau di massa lalu. Waktu seakan tak lagi berarti. Pengalaman-pengalaman menyakitkan, tangis yang terbungkam, dan rasa sesak di dada seperti masih nyata dia rasakan. Awalnya, aku tidak mengerti apa yang dia bicarakan. Aku hanya mendengar dia bercerita. Hingga akhirnya, dia menangis sesenggukan akan ceritanya sendiri. Seperti dia baru saja mengalami peristiwa menyakitkan itu, padahal kejadiannya sudah berlangsung puluhan tahun yang lalu.



Membiarkan dia menangis dibahuku seperti itu membuatku merasa bingung dan lega. Bingung karena merasa apakah keberadaanku ini cukup berguna untuk meringankan sedihnya. Di satu sisi aku lega bahwa dia hanya menangis seperti itu denganku artinya dia merassa aman bercerita padaku. Berbulan-bulan telah berlalu sejak kejadian itu, aku baru mengerti teori Inner child yang popular dalam ilmu psikologi tahun 1970-an. Dalam teori Inner child memiliki sudut pandang bahwa karakter kita yang sekarang memiliki akar dari bagaimana orang tua membesarkan kita dulu. Mungkin, dia ini dibesarkan dalam keluarga yang sangat melarangnya untuk menangis, sering memarahi, bahkan memukul hingga dia menekan rasa sakit hati dalam-dalam. Akibatnya, tumpukan masalah itu ibarat gunung es yang kapan saja bisa meledak.



Penderitaan yang pernah dialami adalah pelajaran untuk bertumbuh. Semua masalah itu adalah petunjuk ke mana kita harus bertumbuh. Pertanyaannya adalah apakah kita benar-benar mau menerima pelajarannya?



Pada titik tertentu, seseorang mungkin memilih lari dari kenyataan, membutakan diri dari konfilk batin dan menikmati posisi sebagai korban. Karena itulah zona nyaman untuk dirinya.  Agar kita tidak terus terjebak dalam Inner child yang menyiksa setiap waktu, maka ‘program lama’ yang telah tertanam dalam dalam diri harus diubah. Hal pertama yang mungkin untuk dilakukan adalah dengan mengakui ada yang tidak beres dengan diri ini.

Kita mungkin pernah berada pada titik tergelap, namun kita bisa menjadikan titik gelap itu sebagai kekuatan untuk berdamai dengan diri sendiri lalu berdamai dengan realitas. Dalam istilah Carl Jung, seseorang harus bisa benar-benar berdamai dengan diri sendiri. Akan tetapi ini adalah pekerjaan yang sangat sulit dan menyakitkan. Mengakui ada yang salah dalam diri kita adalah pekerjaan sulit. 

Jika kita sudah tahu akar permasalahannya. Maka aku mencoba mendekati dia pelan-pelan dan aku katakan padanya untuk berhenti menyalahkan orang tuanya atas apa yang terjadi. Cobalah untuk memaafkan dan mengambil alih tanggung jawab serta menerima bahwa dialah yang harus menjadi nahkoda untuk hidupnya sendiri. Dia hanya bisa mengatur dan mengubah perilaku, pikiran, dan sikapnya sendiri. Walaupun, mengutuki dan menyalahkan orang lain atas apa yang terjadi pada diri sendiri memang mudah dilakukan. Namun, bukan itu titik tolak untuk sembuh dari gangguan ini.  Inner child adalah urusan yang berkecamuk dalam diri masing-masing individu dan orang lain hanya bisa memantau dari luar tanpa bisa masuk terlalu dalam. 

Kenyataan bahwa tidak semua orang diberi kesempatan mengalami ‘kegelapan’, dan kamu bisa berjuang mengubah kegelapan itu menjadi pelajaran, akan menjadikan hidupmu lebih terang dari sebelumnya. So, jangan menyerah, terus berjuang mengganti 'program lama' dengan 'program baru' yang lebih canggih daripada sebelumnya. Aku yakin kamu bisa. Fighting !!!! :)  

Selasa, 19 Mei 2020

Our New Evolution

Well, sepertinya wabah ini memaksa kita untuk berevolusi. 

REUTERS/Mario Anzuoni


Para ahli banyak yang mengatakan jika bonus demografi akan dialami oleh masyarakat Indonesia pada tahun 2020 sa,mpai 2030. Populasi penduduk produktif meningkat, namun sekarang hampir seluruh pekerja diliburkan. Banyak warga yang kehilangan pekerjaan. Kenyataan bahwa sekarang kita dihadapkan pada kondisi yang tidak pasti. Memaksa kita untuk "berdamai dengan COVID-19" menurut Jokowi.  Dunia pendidikan, industri, UMKM, dan hampir semua sektor terkena imbas dari wabah ini. Manusia dipaksa untuk hidup berdampingan dengan COVID-19, karena hingga saat ini belum ditemukan vaksin. Hingga beredar isu-isu seperti herd imunity yang jika kita memaksakan diri untuk menerapkannya bukan tidak mungkin satu generasi akan musnah. Melihat fakta di lapangan, penanganan COVID-19 di Indonesia terlihat sangat lamban dan lemah dalam pengawasan. H-4 menjelang lebaran, banyak beredar pemberitaan, warga memenuhi pasar dan bandara luar biasa padat. Di satu sisi, saat ini banyak sekali warga yang terlihat sehat padahal sebenarnya carrier. Pertanyaannya adalah bagaimana kita bisa hidup berdampingan, jika resikonya adalah kematian? Hidup berdampingan hanya bisa terwujud manakala tren kasus menurun dan telah ditemukan vaksin. Jika belum ditemukan, hidup berdampingan sama dengan bunuh diri. 

Akan seperti apa, kehidupan kita selama COVID-19 belum berakhir? Ada beberapa perubahan dalam waktu cepat yang telah dialami manusia pada masa-masa sulit ini. Dunia pendidikan pun berubah, biologi yang notabennya banyak praktikum diganti menjadi praktikum online. Kuliah dilakukan secara daring. Akan aku cari tau lagi info detail, tentang seberapa banyak lagi perubahan yang harus kita terima dan imbangi dalam waktu cepat. Kita dituntut untuk bergerak cepat, karena virus ini tidak memberi celah bagi kita untuk menyerah. Menyerah berarti tidak bisa beradaptasi. Tidak bisa beradaptasi berarti akan terseleksi. 

Terseleksi adalah kata kunci dalam proses evolusi satu alasan kenapa ada makhluk yang punah dan ada makhluk yang selamat. Buku-buku biologi banyak berkisah tentang proses evolusi sebagai alasan kenapa sekarang hanya makhluk yang bisa survive mampu menghuni bumi. Dulu kita mempelajari contoh evolusi atas Dinosaurus. Konon katanya, hasil perubahan dramatis dari hewan air serupa ikan menjadi hewan berkaki empat penguasa daratan. Namun, hewan berkuasa itu akhirnya binasa, sementara katak (Anura) berhasil bertahan hidup sampai saat ini. Kira-kira kenapa bisa begitu? Contoh lain yang paling terkenal adalah evolusi burung finch yang merupakan contoh bentuk evolusi geografis. Ada banyak jenis evolusi, menurut Campbell, evolusi bisa terjadi pada materi genetik, spesies, populasi, behavior dan ekosistem.

Saat ini yang menjadi sorotan adalah evolusi populasi manusia. Adanya pandemi menjadikan manusia berubah. Kelak atau bahkan saat ini saja pelukan, salaman dan berdekatan dengan orang lain menjadi sesuatu hal yang harus dijauhi. Awalnya sulit, orang -orang masih banyak berkerumun di tempat umum seperti pasar hanya untuk membeli baju. Nanti, tradisi lebaran yang identik dengan bersalaman, berkunjung ke rumah saudara, hanya akan menjadi kenangan. Kita sekarang memasuki fase baru yang menginginkan kita untuk menghentikan semua kebiasaan lama. Fase baru dimana kita diselimuti ketakutan dan kekhawatiran pada keberadaan orang lain. 

Aku merasa akan terjadi perubahan besar-besaran dalam kehidupan kita. Hidup kita tidak akan sama lagi seperti kemarin. Akan ada banyak kata mungkin, bertebaran dimana-mana. Juga tidak ada jaminan pakem atas apa yang sebenarnya tengah terjadi. Peneliti dari berbagai negara berlomba-lomba menemukan vaksin dan mempelajari pola serangan virus SARS-Cov-2. Walaupun saat ini, belum ada satupun lembaga riset yang berani mengatakan kapan pandemi COVID-19 benar-benar hilang. Bahkan, ada yang bilang virus ini akan menjadi endemik di seluruh dunia yang berarti kita akan hidup bersama dengannya, selamanya. 
Tingkat mutasi virus yang cepat, data persebaran yang tidak transparan, menjadi hambatan para peneliti untuk mempelajari virus ini. Kita harus bergerak cepat dan tegas menghadapi kondisi ini. 

Senin, 18 Mei 2020

Hutan di Kepalamu

pinterest.co.uk


Orang mungkin berpikir mudah memilih teman di kepalamu. Tentang apa yang layak dipikirkan dan apa yang layak dibuang. Namun baginya, ini adalah kondisi perang yang sangat rumit. Sementara ia sama sekali tak dibekali dengan senjata yang canggih. Apakah peperangan ini hanya bisa dimenangkan oleh senjata canggih? Atau kalau dirinya bercerita tentang perang-perang itu pada orang lain maka akan percaya. “Jangan jadi orang seperti tidak punya Tuhan. Kau bisa minta tolong padaNya, agar kau bisa memenangkan pertarunganmu sendiri. Lewat doa. Senjatamu hanya doa yang penuh harap, kau tahu mudah bukan!” kata orang-orang padanya sambil lalu. Padahal, dia sama sekali tidak mengerti dimana letak usaha manusia jika semua masalahnya diserahkan pada Tuhan. Sementara, dia hanya disuruh berpangku tangan, menanti keajaiban dunia baru tanpa perang. Tunjukkan padanya bagaimana perang itu berlangsung. Mungkin mereka akan terdiam.


Namanya Dia. Hingga saat ini ada satu buku yang tak pernah tuntas ia baca, hampir semua karya Virginia Wolf tidak pernah selesai dia cerna. Otaknya tumpul mengartikan perang pikiran dengan diri sendiri yang tak mengenal waktu dan tempat. Sama seperti apa yang ia alami selama ini. Orang biasa akan dengan mudah mencerna Mrs. Dalloway atau novel Virginia yang lain. Semudah membaca Harry Potter yang sekali duduk selesai dan mengatakan bahwa Virginia sangat rumit, mungkin sakit jiwa dan harusnya tidak selemah itu. Baginya, novel-novel Virginia adalah bentuk lain dari perang yang ada di kepalanya. Pikiran Virginia serupa hutan yang tak terjamah. Gelap dan liar. Pikiran yang seperti punya pikiran sendiri, hingga akhirnya Virginia tidak tahan dan memilih tenggelam dalam gelapnya sungai di Sungai Ouse, North Yorkshire, Inggris. Bukan akhir seperti itu yang diharapkan Virginia sesungguhnya. Bagaimana tidak Virginia adalah wanita sukses, cantik dan cerdas. Ada banyak hal yang sesungguhnya bisa membuatnya bahagia. Nyatanya tidak demikian. Pengobatan kala itu belum tersedia dan menurutnya itulah satu-satunya jalan keluar dari perang. 

Dia adalah orang pertama yang merumuskan kredo baru bahwa "Pikiran adalah tempat paling liar di muka bumi". Sering aku, temukan dia mencorat-coret buku hariannya. Entah pagi, malam, atau ketika tidak ada alasan untuk memejamkan mata. Lama kelamaan kulihat buku-buku mengakar menjadi serumpun hutan di kamarnya. Disudut-sudutnya tumbuh tunas-tunas baru, masih hijau dan terkadang belum sempat menghijau lantas membusuk. Sementara, pohon tua gemar menebar benih-benih baru. Angin yang kau percaya akan mendamaikan siklus ini, ternyata semakin asyik memancing keributan. Pohon-pohon tumbang. Tunas-tunas baru bermunculan. Jamur-jamur bermekaran dan cacing-cacing berpesta. Babi-babi menghasilkan banyak babi dan harimau mengancam babi. Sebuat siklus yang tidak akan pernah selesai, indah, bergelora dalam diam, dan penuh hubungan yang tidak pernah selesai. 

Contoh sederhananya sempat dia katakan padaku. Katanya, singkat saja, kau boleh mengatakan telah mengenal pacarmu dengan baik. Tapi apakah ada jaminan bahwa kau tahu apa yang beranak pinak di kepalanya. Hutan macam apa yang menghidupi pikirannya. Apa yang menjadi cita-citanya. Apa yang membuatnya semangat menjalani hidup. Apa yang menjadi visinya dalam hidup. Hewan macam apa yang mengancamnya. Pohon apa yang roboh saat badai itu datang. Semua luka-lukanya yang tak terlihat adalah duri yang kapan saja bisa membuatnya berdarah jika kembali tergores. 

Hutan itu ada. Hanya butuh pengakuan agar kau bisa terlepas dari kegelapannya. Mencoba berpikir jernih dan menerima kegelapan itu apa adanya. Bukan dengan dilebih-lebihkan apalagi ditambah kepanikan. Tapi siapa yang menjamin tidak ada situasi yang lebih rumit lagi. Sekarang 2020 kita dihadapkan dengan serangkaian ketidakpastian yang menghantam berturut-turut. Pandemi terbesar menghantam seluruh dunia. Krisis dimana-mana siap menghantui kapan saja bahkan sebelum pandemi ini sempat berlalu. Kondisi psikologis yang rentan berada di titik terendah. Intinya, sembuhkan dulu lukanmu dan rasakan setiap kesakitannya. Namun jangan berlarut-larut. Aku tahu kepalamu adalah hutan penuh dengan banyak ide, pikiran, dan emosi. Semua itu adalah harta berharga. Juga percayalah bahwa hutan tak selamanya menakutkan, mereka menyimpan nyanyian merdu burung juga bunga-bunga berwarna. Kita hanya perlu keberanian untuk terus berjalan namun jika berjalan masih terlalu sulit dilakukan maka genggamlah tanganku dan kau tak sendirian disini. 

Kiranya akan kututup tulisan ini dengan secercah harapan untuk kita:
“Your head is a living forest full of song birds.” – E.E. Cummings