Kau ingat, dulu, hobimu menanam apa pun yang kau temukan
Rumput liar serupa pohon kelapa, meniran berbiji serupa apel
Atau apapun yang pasti akan mati jika itu bukan rumput
Kau terus saja bersikukuh bahwa yang kau lakukan adalah pekerjaan paling mulia
Aku tak perlu mendebatmu,
kuaminkan semua ucapanmu
Selain hanya ingin terus menemanimu menggali tanah hingga ke lubuk hati dengan bunga-bunga
dan memperpanjang ingatanku tentangmu
Mungkin usiaku 11 atau 12 waktu itu
Tidak terlalu muda untuk mengerti bagaimana dunia bekerja
Bahwa seringkali tanpa harapan apapun manusia akan mudah bahagia
Lebih mudah daripada berharap menjadi dewasa namun merindukan kembali jadi anak 11 tahun
Lalu sekarang, manusia seperti menjadi budak atas waktu,
Mimpi-mimpi yang terkadang gemar menipu
Atau senyummu yang sering terlihat palsu
Sudahlah, baca saja kisah dari novel-novel itu
Bagaimana sastrawan itu mengungkapan manusia dengan ketelanjangan
Dan kebodohannya terus berusaha menjadi Tuhan atas dirinya sendiri.
Lalu sebenarnya apalah Kita ini?
Selain makhluk-makluk yang gemar memupuk harapan
juga mudah dipatahkan keadaan
Beruntunglah orang-orang yang mengenal sastra, mereka hanya perlu membaca sedikit untuk mengetahui banyak hal
Hanya perlu membaca untuk merasakan tragedi tanpa ikut terluka
Hanya perlu hanyut dalam cerita tanpa perlu merasakan sesaknya himpitan batin yang dikecewakan takdir
Ah, kadang kita harus bertingkah seolah-olah bisa menanam ingatan
Bahwa hidupmu lebih bahagia dibandingkan tokoh dalam novel itu,
hanya agar bisa menertawakan keadaan
Karena tragedimu tak lebih miris dibandingkan yang mereka rasakan
Setidaknya ini adalah pekerjaan paling mulia untuk merawat kewarasan, bukankah begitu nun?
Padahal kau tau tidak ada yang benar-benar menderita kecuali kau menganggapnya sebagai penderitaan
Percayalah, Kita akan menyesal jika terlalu mengasihani diri sendiri
Lebih baik, buka novelmu, dan sembunyilah diantara tokoh-tokoh itu.